Maaf, Kami Tidak Merayakan Ulang Tahun (Hari Lahir)
![]() |
Quantumate Story |
Dulu, saat kecil. Saya terbiasa menerima undangan ulang tahun, lalu bergembira hadir di ulang tahun teman-teman, namun tidak sekalipun saya merayakan ulang tahun, Ayah dan Ibu juga tidak memiliki budaya berulang tahun. Budaya tidak merayakan ulang tahun ini diganti dengan perayaan khatam Qur'an, itu pun cukup sekali seumur hidup, saya ingat perayaan khatam Quran pertama, saat berumur jelang 6 tahun.
Saya mencoba memahami budaya dalam keluarga kami lebih kepada merayakan bekal untuk memahami agama (meski mereka tidak pernah membahas tentang spiritualitas dengan saya). Bagi anak usia 6 tahun apalah yang bisa dipahami dari pemaknaan merayakan khatam Quran. Selain ada kebahagiaan kumpul keluarga dan makan nasi kuning. Tapi tetap saja, sejak itu saya tidak mengenal budaya merayakan hari lahir.
Semakin bertambah usia, saya mulai mempertanyakan, mengapa bagi sebagian orang hari lahir itu penting sekali? bagian dari eksistensi diri di dunia kah? atau mengikuti budaya popular? Apakah ini menjadi bagian dari self esteem diri?
Lalu, saya menikah dengan Yah Deelat, suami saya yang ternyata memiliki budaya yang sama. Tidak merayakan hari lahir. Baik dalam makna hari lahir untuk eksistensi diri atau budaya dunia modern dalam merayakan identitas diri.
"Sayang, kita tidak merayakan hari lahir, tapi kita hanya merayakan hari kematian, saat abang meninggal dunia nanti, rayakan hari itu, abang hanya ingin diingat apakah kebaikan-kebaikan abang di dunia pantas diingat di hari kematian"
Sebagai orang yang menghabiskan bertahun-tahun di jalan pergerakan untuk masyarakat, saya sangat memahami mengapa hari kematian menjadi hal yang paling penting untuk suami saya.
Kemudian satu kali Grand Leader Iran, Ali Khamenei khusus menanggapi ucapan selamat hari lahir untuk beliau. Bagi Ali Khamenei, hari lahir bukan hal yang penting untuk diperingati dan diselamati. Jika pemikiran ini tidak penting, mengapa Ali Khamenei khusus menyampaikan pernyataan tersebut?
Saya mencari penjelasan lebih dalam dari berbagai penjelasan di dunia sufi. Pernyataan Rumi sungguh menarik untuk direfleksikan. Jalaluddin Rumi, menyebut hari wafatnya sebagai Shab-e Arus (“Malam Pengantin”), karena baginya kematian adalah momen bersatu dengan Kekasih Sejati (Allah).
Sekarang jadi timbul pertanyaan,
Mengapa orang-orang mengagungkan hari lahir?
Saya kemudian menemukan beberapa pemaknaan terkait hari lahir, makna psikologis dan makna sosial budaya.
Secara Psikologis, merayakan hari lahir berarti:
- Simbol Eksistensi, ulang tahun dipandang sebagai penanda bahwa "aku ada di dunia ini", jadi ini seperti sebuah pengakuan atas keberadaan diri.
- Validasi Sosial, ketika orang lain mengucapkan selamat, seseorang akan merasa dilihat dan dihargai, semacam ada kebutuhan untuk memperkuat rasa harga diri (self esteem). Akhirnya saya memahami mengapa ada orang yang marah-marah kalau tidak diucapkan selamat ulang tahun, tidak memberikan kado ulang tahun bahkan lupa hari lahirnya.
- Refleksi diri, bagi banyak orang, ulang tahun jadi momen evaluasi perjalanan hidup, pencapaian, dan harapan ke depan. Sehingga ya dianggap penting diingat dan dirayakan.
Sekarang coba kita lihat dari makna Sosial dan Budaya. Mengapa merayakan ulang tahun menjadi begitu penting.
- Ritual modern: Sama seperti wisuda atau pernikahan, ulang tahun diposisikan sebagai rite of passage (ritus peralihan) yang menandai perubahan usia.
- Perayaan identitas: Masyarakat modern cenderung menekankan individu (individualisme). Karena itu, ulang tahun dianggap momen merayakan identitas pribadi
- Komodifikasi: Dalam budaya populer, ulang tahun dipromosikan melalui industri hiburan, hadiah, pesta, sehingga semakin penting secara sosial.
Kedua pemaknaan ini tentu kontras dengan makna lahir di dunia Sufi. Saya memang sedang belajar untuk memahami pemikiran-pemikiran sufi, sehingga isu ini menjadi hal yang penting untuk saya pahami dengan baik.
Sufisme menganggap bahwa hari lahir adalah hari keterpisahan dengan Ilahi. Sehingga ini bukan hal utama untuk dirayakan.
Perspektif spiritual sufisme, yang lebih penting bukan kapan kita lahir, tetapi bagaimana kita hidup dan bagaimana kita “pulang” nanti. Bagi kaum sufi, kelahiran ke dunia bukanlah puncak kegembiraan, karena dunia dipandang sebagai alam keterpisahan dari Sang Pencipta. Manusia lahir ke dunia membawa hijab (tabir) yang menutupi cahaya hakikat Ilahi, sehingga hidup di dunia adalah perjalanan kembali menuju asal. Karena itu, hari lahir bukan dianggap momentum utama untuk dirayakan secara spiritual.
Sementara hari kematian dipandang sebagai “urs” (hari pengantin/penyatuan): saat ruh yang terpenjara di tubuh akhirnya bebas kembali ke hadirat Allah.
Suami saya tentu tidak asal bicara, ketika berpesan pada saya bahwa rayakanlah hari kematianku katanya. Hari kematian bagi kami berdua menjadi lebih penting, sebab ini menjadi momentum pertemuan kembali dengan Sang Kekasih, dan puncak perjalanan spiritual manusia.
Jadi, sebagai keluarga, teman tentu kami tetap mengucapkan terima kasih bagi yang mengucapkan selamat hari lahir untuk kami. Meski kami berdua (lalu mengajarkan kepada anak-anak kami) tidak merayakan hari lahir dan tidak menjadikannya hal yang utama untuk dirayakan.
Salam
Depok, 20 September 2025
Aida Ahmad (Mak Deelat)
Comments
Post a Comment