Di Hari Idul Fitri, Ibuku Terbunuh..
Gambar dari sini |
Derita ibuku telah paripurna. Saat Idul Fitri berlalu lalang,
ia menahan denyut yang semakin lama semakin keras, berpacu bersanding dengan
detak jantung. Tak ada denyar tawa di sekitarnya, hanya tersirap ngilu dan pilu
di ujung sajadah, pada sujudnya yang tunduh.
Ibuku telah
merangkum banyak kisah dalam perjalanannya. Kisah tentangku yang sejak
bercakap-cakap dalam kolam ketuban hingga kumaknai tangisnya yang sudah usai
pada pagi yang terlalu dini.
Gambar dari sini |
Ia hidup
seorang diri menanggung rindu yang tak sempat disampaikan lewat pelukan. Ia
telah terbuang pada ranumnya kalimat bermaaf-maafan. Terhempas di sudut ruang
berukuran 3x3 meter tanpa sapa, tanpa dering telepon pintar.
Dalam
perjalananku yang berulang kali meninggalkannya, bukan maksudku untuk
meninggalkannya. Namun, aturan yang tak bisa kubantah dari lelaki yang
kupanggil “Bapak
“Baik-baik
dan selalu berbahagia ya nak..”
Aku sudah
menutup hariku dengan suaranya yang merdu, biji matanya terlalu banyak
mengandung cerita. Risaunya yang tak pernah berganti akan risauku. Siapa yang menjaganya saat terluka, siapa yang
memijat tengkuknya saat vertigo menyerang? Tak siapa..
Idul Fitri,
ibuku kembali terbunuh, kali ini lebih mengenaskan dari sebelumnya. Ia terbunuh
dalam kesendiriannya, waktu yang pongah, manusia yang sombong telah
membunuhnya, mengubur kasihnya hingga ia kerontang tanpa pinta dan harap.
Gambar dari sini |
Dan… Aku,
hanya menatapnya dari jauh dalam diamku, dalam tanpa bantahku.
Comments
Post a Comment