Pada Delapan Tahun Doamu
Sumber google |
Aku terbiasa melihatnya terbangun pukul setengah 4 pagi, kebiasaannya
selalu menciumku sekilas lalu ke kamar mandi, mungkin untuk buang air atau
mengambil wudhu untuk bertahajjud.
Namun entah
mengapa, malam ini, ia terbangun lebih awal, aku masih merasakan sentuhan
jemarinya di pipiku dan kecupan lembut di keningku. Jika bukan karena hari ini
hari istimewaku, mungkin aku tak begitu penasaran apa yang akan ia lakukan pada
jam 3 dini hari ini. Suara dentuman pesta pora dan terompet akhir tahun baru
saja mereda.
Langkah
kakinya terdengar pelan, mungkin ia tak ingin aku terbangun dari tidurku.
Sajadah lusuh miliknya ia bentangkan lagi, mukena ungunya ia kenakan lagi. Kali
ini kulihat ia berdiri lebih lama, termenung dan diam beberapa saat.
sumber google |
Setiap kali
hari kelahiranku, aku menemukan wajah bunda yang sendu. Jemarinya bergetar,
isaknya terdengar. Setahun lalu, aku meninggalkannya berulang tahun di Jogja
bersama keluarga papaku. Aku tahu, dan sangat tahu. Ada luka di hati bundaku,
ia menghabiskan malam pertambahan umurku di depan laptop di sudut kantornya
yang gelap. Seperti hari ini, dalam kesendiriannya, dalam perjuangannya yang
terlihat kokoh, tetap saja kutemukan luka itu tak kunjung mengering.
Delapan
tahun usiaku, bunda pernah menangis berulang kali dalam pelukanku, terisak
ketika menjadi imam shalatku, bahkan tersedu-sedu dalam tidurnya yang tak
lelap. Aku mengerti, aku sudah mengerti lebih dari apa yang telah kulihat. Aku
sedikit diam, namun banyak berpikir. Ada luka di dada bunda.
“Saat engkau
lahir nak, semuanya berubah…” ingin sekali kudengar kalimat itu dari bibirmu,
tapi hanya tatapnya saja yang lebih senang bercerita padaku. Saat psikolog
mengatakan pada bunda, aku lebih dewasa daripada umurku, kulihat mata bunda berkaca-kaca,
lalu berbisik “Maafkan bunda nak, ini bukan bebanmu tapi beban bunda…. Maafkan
bunda, memaksamu menjadi lebih dewasa dari umurmu, memaksamu memiliki ruang
yang kosong di dalam jiwamu, maafkan bunda nak..”
Delapan
tahun usiaku. Bunda memang sering tidak bersamaku, namun itu bukan inginnya,
sengketanya dengan Papaku yang membuat semuanya menjadi ricuh dan bunda menjadi
“penjahat” di banyak pihak. Namun aku tahu, aku sangat tahu, bagaimana bunda
menjagaku saat kami bersama-sama, bagaimana bunda mengajariku saat kami
menghabiskan malam, dan bagaimana bunda menjadi imam shalatku sementara aku tak
menemukan lagi ritual itu pada Papaku.
Sumber google |
Bunda,
berbahagialah selalu. Meski waktu dan ruang tak pernah menjadi milik kita lagi,
namun aku tak pernah lupa menaruh makna “bunda” untukmu. Sejarak apapun, sejauh
apapun, seburuk apapun tuduhan yang diberikan untukmu, tetap saja aku lahir
dari rahimmu, aku hidup dari sari dadamu, aku terlelap dalam pelukan cintamu. Karena
dirimu, tetap ibuku.
Jakarta, 2 Januari 2016
Aida, M.A
Comments
Post a Comment