Repost "Aida dan Kartini, Dalam Spirit Literasi" By. Syafaat R Slamet
Rabu, 9 April, seorang sahabat inbox saya
saya mengenalnya dengan nama Mas Syafaat, dia salah satu pemenang di GA buku saya. namun kemudian saling berkomunikasi dengan baik di FB. Mas Syafaat mengirimi saya link artikel yang terkait dengan GA Ada Kartini di dadaku.
saya baca kata demi kata, kalimat demi kalimat, dan berakhir tentang penilaian dia terhadap saya selama ini. saya merasa malu, karena masih banyak karya dan PR yang harus saya lakukan untuk ke depan, terutama berkontribusi untuk anak-anak SMP dan SMA agar lebih senang membaca dan menulis, namun artikel ini bisa dan pasti menjadi doa bagi saya sekaligus mungkin ekspetasi sebagian orang pembaca dan sahabat, semoga Allah kabulkan..dan memudahkan langkah saya ke depan, Inshaa Allah.
Artikel ini bisa dibaca juga di sini
http://biliksastra.wordpress.com/2014/04/09/aida-dan-kartini-dalam-spirit-literasi/
http://biliksastra.wordpress.com/2014/04/09/aida-dan-kartini-dalam-spirit-literasi/
Aida dan Kartini, dalam Spirit Literasi
Banyak yang fasih mengatakan perjuangan Kartini adalah emansipasi. Dengan makna yang begitu sempit sekali. Emansipasi Kartini diartikan karena berjuang menjajarkan diri perempuan dengan lelaki.
Karena kurang mendalami kisah hidup Kartini, sekurang-kurangnya belum membaca biografinya, yang membuat banyak orang menjadi keliru. Kalau kata tersesat dibilang terlalu jahat.
Tak heran, bila memasuki bulan April seperti euforia menyambut hari Kartini. Tapi apa yang menonjol? Perayaan yang menonjolkan kulit daripada isi.
Saya kadang tersenyum geli. Gelung (dalam Bahasa Sunda) alias Konde yang menjadi simbol penampilan serta kebaya. Itu yang sering jadi perlombaan. Yup, betul masa peringatan Kartini dengan menggunakan Kopiah atau Jas laki-laki.
Bukan itu, maksud saya bukan tak suka dengan hebohnya perayaan dengan aneka ragam budaya yang dengan ditampilkan pakaian ala Kartini. Namun alangkah lebih indahnya lagi kalau spirit Kartini diangkat pada aspek lainnya.
Ya, katakanlah sosok kecerdasan Kartini dalam memperjuangkan bangsanya.Catat, bukan sekedar memperjuangkan kaumnya saja (Perempuan). Tapi bangsanya, bangsa pribumi yang saat itu dalam alam feodalistik.
Salahsatu cara menyambutnya yang riil membangun karakter bangsa, seperti lomba berkarya tulis. Nah, dalam hal ini GA yang diadakan pak Dhe Cholik bagi saya merupakan gagasan kereen
. Spirit Kartini sejati memang sedang diperingati. Jadinya jangan dilewati untuk diikuti.
#
Hemat saya, membaca biografi Kartini merupakan keharusan. Kenapa? Supaya tidak tersesat pandangan. Setidaknya dua buku tentang Kartini pun sudah cukup untuk pengetahuan dasar tentang bagaimana perjuangannya. Misalnya “Kartini: Sebuah Biografi” karya Siti Soemandari Soeroto dan Panggil Aku Kartini Saja, karya Pramoedya Ananta Toer.
Bukan saja memperjuangkan hak-hak pendidikan kaum perempuan. Kartini memberikan contoh sebagai gadis perempuan yang kreatif dengan karya Batiknya dan karya seni Lukisannya. Perjuangan hebatnya, dalam pandangan saya, Kartini berani mengorbankan cita-citanya untuk studi ke Belanda.
Bahkan menjalani apa yang awalnya ditentang pribadi dirinya yaitu memilih menikah dan meninggalkan studi. Menikahnya dengan duda beranak pula. Untuk apa? Kartini mau menikah dengan suaminya yang bupati.
Tak lain Kartini mengorbankan dirinya sendiri demi cita-cita yang lebih mulia demi untuk mendidik anak-anak gadis. Demi sekolah perempuan. Karena dengan jalan menikah itu dia bisa merintis upaya pemberdayaan kaum perempuan.
Di sinilah letak kehebatan perjuangan Kartini. Namun kali ini tulisan saya tidak akan memperdalam hal ini. Tapi aspek lain perjuangan Kartini dalam memperjuangkan bangsanya. Apakah gerangan? Itulah Kartini sebagai Pejuang Pena. Kartini sebagai penggerak budaya literasi.
Inilah yang jarang diketahui atau diungkap di masa kini. Kartini hanya dikenal karena tulisannya “Habis Gelap Terbitlah Terang”–yang merupakan buku kumpulan tulisannya yang diterbitkan orang lain.
Tapi amat sedikit yang memahami kalau Kartini itu sebagai pelopor budaya literasi. Kalau sekedar budaya literasi, Kartini mungkin sudah terdahului oleh Raden Ayu Lasminingrat, isteri bupati Garut. Yang ketika Kartini masih kecil, Lasminingrat sudah pandai menulis buku terjemahan kisah-kisah dari bahasa Belanda ke dalam tulisan Jawa dan bahasa Sunda. Luar biasa untuk zamannya di akhir abad 19. Kartini adalah pelopor pers kaum perempuan Indonesia modern.
Kartini bukan sekedar pandai menulis dalam surat-menyurat sebagai curhat kegalauan nasib dirinya. Tapi Kartini mengangkat kegalauan yang mewakili perasaan bangsanya. Bukan saja kaum perempuan tetapi pula seluruhnya. Itulah rasa bangsa pribumi yang hidup dalam alam kungkungan penjajahan.
Di sinilah kekuatan Kartini dibanding perempuan lain sezamannya. Meskipun hidup Kartini begitu singkat. Meski hidup dalam pingitan, pikirannya tidak picik. Budaya baca tulis terus dipelihara. Buku-buku bermutu menyertai dirinya. Sebut saja buku Max Havelaar karyaMultatuli adalah satu diantara bacaannya.
Tentu saja dahsyat, buku bermuatan kritik sosial itu telah membuka pandangannya tentang nasib bangsanya.
Pantas walau pun masih remaja pandangannya untuk nasib bangsa sudah visioner. Bahkan masih di abad 19 Kartini sudah mampu menyampaikan gagasannya tentang revolusi, padahal orang lain belum bisa mengungkapkannya. Kartini merupakan perempuan yang sudah berpikir maju di tanah air kita. Sekaligus memberikan analisis masa depan bangsa.
Beliau bukan sekedar penulis biasa, tapi penulis luar biasa. Kartini adalah wartawati pertama di era modern.
Jauh sebelum Budi Utomo, Kartini sudah menyebarkan ide pemikirannya untuk persatuan bangsa. Tulisan-tulisannya yang dipublikasikan di sejumlah media cetak di Belanda telah memberikan pengaruh berpikir pemuda terpelajar kita di sana. Pemikirannya pula telah mempengaruhi pikiran sebagian tokoh intelek Belanda.
Kartini telah melakukan kritikan terhadap pemerintah Belanda lewat tulisan-tulisannya.
Inilah perjuangan Kartini. Beliau dikenal sebagai pahlawan sehingga namanya dikenang hingga saat ini. Bukan karena kecerdasannya sendiri. Tetapi kecerdasan diri yang dipancarkan untuk membela rakyat kecil. Kartini memperjuangkan kaum perempuan supaya mendapat pendidikan.
Dengan mendapatkan pendidikan, perempuan akan cerdas dan mampu mendidik anak-anaknya sehingga akan melahirkan generasi yang berkualitas.
Dan inilah kunci pembuka kemerdekaan bangsa. Selain pandangannya pada kaum perempuan, Kartini pun amat memperhatikan rakyat kecil nasib kalangan petani yang merupakan rakyatnya di daerah kabupaten Jepara, dimana ayahnya sebagai bupatinya.
##
Awal September 2013 tanpa sengaja saya berkenalan dengan seorang blogger perempuan, melalui Give Away yang diadakannya. Saya tertarik mengikuti GA karena berkompetisi dengan isteri saya yang lebih duluan mengikutinya. Dalam kejaran deadline di enjure time saya memposting tulisan.
##
Awal September 2013 tanpa sengaja saya berkenalan dengan seorang blogger perempuan, melalui Give Away yang diadakannya. Saya tertarik mengikuti GA karena berkompetisi dengan isteri saya yang lebih duluan mengikutinya. Dalam kejaran deadline di enjure time saya memposting tulisan.
Dan…pengumuman beberapa hari kemudian ternyata namaku disebut salahsatu pemenangnya.
Sejak itulah saya berkenalan dengan pemilik blog bernama Aida MA. Seorang blogger perempuan yang ternyata keren. Bukan cakep penampilannya saja
, tetapi tulisan-tulisannya memang keren.
Membuka-buka blog miliknya yang berdasar warna putih dengan ilustrasi kuda terbang, saya menerjemahkan pemiliknya berkarakter energik dan bermimpi ingin terbang dalam dunia kepenulisannya.
Diantara tulisannya ada sebuah artikel yang menarik disimak, berjudul Yuk Menabur Bahagia Lewat Buku. Tulisannya ini mengulas pentingnya berjiwa filantrofi.
Dengan diksi kalimat yang filosofis Aida MA menulis,
“…ada sebuah kesepakatan bersama, bahwa salah satu kebahagiaan yang tak mampu ditukar dengan hal apa pun yaitu saat kita berhasil membantu seseorang sesuai dengan apa yang ia butuhkan. Benar, kalimatnya membantu sesuai dengan apa yang ia butuhkan. Karena seseorang yang dibantu sesuai dengan kebutuhannya seperti merasakan syurganya saat itu juga.”
Cara mendatangkan bahagia itu punya banyak cara, ibarat banyak jalan menuju Roma, maka banyak jalan menuju bahagia dengan memberikan bantuan, salah satunya membantu anak-anak yang gemar membaca dengan menyediakan fasilitas buku.
” Dari dulu, dulu itu kapan? Dulu sekali, saya sangat ingin mempunyai pustaka pribadi di rumah, pustaka yang bisa dipanjati dan dikelilingi oleh anak saya Nazira seperti saat saya kecil dulu di pustaka ayah saya. Semakin kemari keinginan saya itu semakin besar, saat murid-murid saya terkadang suka datang ke rumah dan duduk di pojok rak-rak buku saya yang mulai berhimpitan karena belum mendapat rak yang baru (huhuhu) keinginan itu semakin kuat, dan membuat saya semakin antusias saat banyaknya didirikan rumah-rumah baca oleh teman-teman pencinta buku.”
Kepeduliannya pada budaya literasi membuatnya mau turun menyusuri kawasan Marga Asih, Bandung. Untuk apa? Aida MA datang mengunjungi Rumah Baca Pustaka Ilmu (RBPI). Pada hari Minggu 27 Oktober 2013, di tengah-tengah kepadatan agendanya dalam road show buku-bukunya ia turun demi anak-anak Rumah Baca yang berdiri sejak 5 Desember 2005.
Di Rumah Baca ini Aida MA tidak pelit berbagi ilmu seluk-beluk menulis atas undangan Kang Kamiluddin Azis, pengelola Rumah Baca yang temannya di grup Facebook Inspirasiku .
Dalam artikelnya, Aida MA mengakui kekagumannya pada sosok Kang Aming–panggilannya pada Kamiluddin Azis–sebagai filantrofis sejati. Rumahnya terbuka untuk direcoki anak-anak yang datang berkunjung tanpa mengenal waktu. Yang tak merasa terganggu meski waktu istirahat karena ada anak-anak mengetok pintu ingin baca buku.
Menurut Aida, tidak banyak orang yang merelakan rumahnya dibiarkan begitu saja orang mudah keluar masuk ke dalamnya, apalagi di kota besar yang masih rempong dengan urusan privacy.
Dengan jujur Aida MA menyatakan bahagia bisa hadir di Rumah Baca, bertemu Kang Aming dan Istrinya, para volunteer yang sebagian besar mahasiswa, anak muda yang sengaja menghabiskan waktu untuk kegiatan sosial. Prinsip anak muda keren saat ini, selagi muda menuai banyak ilmu, melakukan banyak kegiatan positif, dan berani menantang diri sendiri.
Ia pun kagum dengan inovasi mereka yang belum menyentuh angka 30 tahun usianya sudah menjadi orang-orang hebat negeri ini.
Aida MA menunjukan sikap antusias untuk mengunjungi Rumah Baca ini. Dan menyatakan dengan senang hati akan berkunjung pula jika ada Rumah Baca lainnya. Kekagumannya ditunjukan melihat besarnya antusias para volunteernya pada dunia menulis. Mereka memiliki harapan yang sama dengan dirinya, ingin ide-ide mereka dibaca orang lain.
Aida menyatakan syukur karena para volunteer Rumah Baca itu terinspirasi oleh dirinya. Ia tak pelit untuk berbagi ilmu. Aida menyampaikan tiga (3) tips bagi yang berniat memasuki dunia menulis:
1. Silahkan mencari tahu semua tips menulis dari guru mana pun, bahkan dari professor sekali pun, simpan semua tips-tips itu di kepalamu lalu mulailah menulis. Jangan terlalu sibuk ikut pelatihan ini itu, karena konsep utamanya tetap saja action. Jika ada 1000 syarat menjadi seorang penulis, maka 998 nya adalah Action, selebihnya teknis.
2. Untuk menumbuhkan semangat salah satu caranya adalah komunitas, RBPI sebagai penyemangat untuk banyak membaca, lalu cari lagi komunitas penulis yang bisa menambah semangat menulis, menumbuhkan cemburu untuk bisa ikut berkarya, bukan komunitas yang setiap saat mengeluh dan mengeluh lagi bahkan sebelum memulai pun.
3. Tidak ada kata “sempurna” untuk pekerjaan pertama. Bahkan pekerjaan yang sudah dilakukan 100x saja tidak akan luput dari kekurangan, jadi lakukan saja… perbaikan-perbaikan akan terlihat menjadi lebih baik seiring konsistensi penulis untuk terus melatih dirinya.###
Di saat Aida merasakan kekagumannya pada jiwa filantrofi pemilik Rumah Baca yang dikunjunginya, saya sebagai pembaca blognya justru merasakan kagum dengan apa yang dilakukannya selama ini. Kunjungannya yang ditulis dalam artikel blognya itu hanya satu sisi dari jiwa filantrofi Aida.
Kenapa Aida layak dikagumi? Ia telah berbuat bukan untuk dirinya sendiri selama bertahun-tahun belakangan ini terkait budaya literasi yang ditekuninya. Jatuh bangun meniti karier kepenulisannya layak jadi inspirasi bagi orang lain. Dari seorang blogger Aida kemudian mencatatkan diri sebagai penulis buku.
Dan kemudian mendedikasikan dirinya sebagai Coach Writing, Charming Teacher and CTO BataviaBooks Publishing .
Bayangkan saja, usianya baru 30-an, tetapi karyanya tulisnya berupa buku dalam waktu 6 tahun ini sudah bermunculan di penerbit besar sekelas Quanta dan Bentang Pustaka. Suatu pencapaian yang tidak mudah. Saya senang membaca perjalanan kepenulisannya dari penolakan-penolakan oleh penerbit hingga membuahkan karya berupa buku.
Ia layak disebut blogger dan penulis yang lahir dari kegigihan kemauan.
Mengingat semangatnya dalam berkarya tulis sepertinya ia memiliki spirit Kartini di masa kini. Budaya literasi yang dijalani Kartini ternyata ada pula dalam sosok Aida MA. Seorang penulis yang berangkat dari kemauan tinggi untuk menjadi penulis. Bukan sekedar ingin jadi penulis, Aida MA bercita-cita besar untuk mencerdaskan kalangan perempuan dan anak bangsa.
Budaya baca tulis digerakannya secara kongkrit dengan aktif pula dalam komunits “Be a Writer Indonesia” (BaWI). Kini ia menjadi Sekretaris Jenderalnya.
Ia tak menyia-nyiakan kemajuan era digital atau media sosial seperti blog, facebook, twitter dan lainnya sebagai jalan untuk bergerak memajukan budaya literasi. Bukan saja secara online, tetapi Aida MA dengan semangat membara bergerak melakukan silaturahmi menebarkan semangat budaya literasi yang ada dalam dirinya.
Karena ia berpandangan perempuan dan anak muda itu harus cerdas dan berguna bagi keluarga dan lingkungan masyarakat.
Semangat berbagi ilmu tampak sekali kalau kita melihat aktivitasnya yang bisa saya ditemui dalam status FB dan Twitternya. Selain itu bisa dilihat pula dalam blognya mengadakan temu penulis, mengisi workship dan seminar baik di kampus atau pun di stasiun-stasiun radio yang bisa dikunjunginya.
Salahsatunya dalam Workshop Nulis Banda Aceh, Aida MA menjadi pengisi acara bertema “Dunia Literasi dan Perempuan” yang berlangsung pada 30 Maret 2014 di Gedung Muhammadiyah Jl.KH Ahmad Dahlan No.7 Banda Aceh.
Enam (6) tahun dirinya menggeluti dunia menulis sudah menghasilkan delapan karya berupa buku. Diantaranya berjudul Ketika Cinta Harus Pergi, Kusebut Namamu dalam: Ijab dan Qabul, Sun Set in Weh Island, Berbagi Hati, The Moca Eyes, Looking for Me Kim, Kereta Terakhir dan Ya Allah Beri Aku Kekuatan.
Penulis usia muda 32 tahun ini awalnya berkarier dalam kepenulisan sejak tahun 2008. Setelah ia memutuskan berhenti bekerja di sebuah perusahaan asing Australia aid pada tahun 2006. Dan ia memilih menjadi ibu rumahtangga, mengurus anak dan suami.
Dalam momentum mengurus keluarga itulah Aida MA menekuni dunia menulis freelance.Tidak gampang, beberapa tulisannya justru mendapatkan penolakan penerbitan.
Di tengah rasa hampir putus asa ia disemangati suaminya untuk terus berkarya, menulis dan menulis. Beberapa tahun menjadi penulis freelance dan menulis di blog miliknya. Tulisan-tulisan di blognya ternyata mendapat sambutan baik dari pembaca, kalangan ibu-ibu.
Nah, dari sini karier kepenulisannya beranjak naik. Kumpulan tulisan di blog miliknya kemudian diterbitkan oleh penerbit Quanta-Elexmedia Komputindo. Itulah yang jadi buku Ya Allah Beri Aku Kekuatan. Ketekunannya menulis akhirnya menemukan alurnya.
Kini Aida MA terus bergerak menulis dan sekaligus menjadi marketing karya-karyanya. Ia mengisi acara workshop kepenulisan di sejumlah komunitas dan acara di daerah dan ibukota. Kegigihannya tampak dia begitu lincah dari satu kota ke kota lain, termasuk saya melihatnya ia ada di stasion radio.
Kemudian hari dalam update status FB Aida MA ternyata sudah ada bersama teh Ninih di Darut Tauhid-nya AA Gym. Beberapa hari kemudian sudah ada di acara seminar dan workshop menulis di ormas pelajar dan angkatan muda di Aceh.
Demikian mobilitasnya Aida MA itu menjadi sebuah kewajaran jika kemudian ia mendapatkan ganjaran yang seimbang dengan upayanya. Beberapa waktu lalu akhirnya profil dirinya naik cetak dalam sebuah surat kabar nasional Republika. Suatu prestasi yang layak jadi motivasi bagi pecinta dunia literasi dan pemberdayaan masyarakat.
Jejak langkah Aida MA dalam mengembangkan budaya literasi baik secara online atau pun ofline road show ke sejumlah daerah merupakan bukti kegigihannya dalam mengembangkan budaya literasi di tanah air kita. Kiprahnya ini membawa spirit sosok Kartini di masa kini.
Kartini sudah mengorbankan dirinya membatalkan studi dengan menikah demi pencerahan generasi bangsa. Aida Ma pun telah mengorbankan karier pekerjaannya demi pencerdasan anak bangsa lewat tradisi lietrasi.
Melihat dinamika aktivitasnya, Aida MA telah berbuat banyak untuk dunia kepenulisan beberapa tahun belakangan ini.
Ia sudah sungguh-sungguh menggerakkan dirinya untuk berkarya tulis. Sekaligus Aida MA menyemarakkan budaya baca secara langsung.
Serta menggerakkan pula budaya tulis lewat komunitas Be A Writer Indonesia. Dan memotivasi anak muda juga ibu-ibu untuk berkarya nyata dalam seminar dan workshop menulis.
Aida MA di mata saya bisa disebut membawakan spirit Kartini. Dalam hal apa? Tentu saja dalam budaya baca tulis alias literasi.
Memang ia belum seperti Kartini menjadi penulis sekaligus wartawati bagi media cetak di zamannya. Aida MA pun belum sekelas Kartini dalam menyuarakan nasib rakyat kecil lewat tulisannya.
Meskipun begitu, tanpa perlu mengubah penampilan berjilbab dengan bersanggul dan berkebaya, kiprahnya di dunia literasi beberapa tahun ini sudah bisa dibilang Aida MA mengikuti jejak langkah Kartini.
Comments
Post a Comment