Berdialog Dengan Tuhan #Pengalaman I'tikaf
Dalam hidup
ternyata ada saatnya kita berada pada titik terbawah, titik yang terendah dalam
berbagai bentuk. Titik nadir kehidupan yang sangat berat, mampu melemahkan dan
sampai-sampai membuat kita berani bertanya pada pemilik hidup, Ada apa Allah?
Mengapa harus aku?
Saya sedang
berada pada titik itu. Titik yang bisa menjadi titik balik atau titik jatuhnya
seseorang bahkan sebagian tidak sanggup bangkit lagi. Ini pernah terjadi dua
kali dalam hidup saya di masa lampau. Dan kali ini titik nadir itu membenamkan
jiwa saya sangat dalam. Sekali datang, menghempaskan saya dengan sangat telak!
Jika ada
yang mengatakan saya berada di dalam karier kepenulisan yang sedang saya bangun
dan mulai berkembang, itu memang benar. Tahun 2013 ini, belum pertengahan tahun
saya memang sudah menerbitkan tiga buku, dua di antaranya dengan penjualan yang
cukup baik. Kalau memang demikian, lalu pasti timbul sebuah pertanyaan, di mana
letak titik nadir itu?
Saya tidak
tahu di mana letak “Bahagia” dalam konotasi yang sebenarnya, saat bahagia dalam
ukuran manusia ternyata kontradiktif dengan bahagia dalam versi yang dicari
oleh jiwa. Di saat yang lain menebarkan pujian,
tapi di sisi yang lain pencapaian yang saya dapat hari ini adalah Nol
besar. Apa ada yang salah? Benar, pasti ada yang salah. Tumpukan koleksi “dosa”
yang tidak sengaja saya kumpulkan, menjadi semacam “Sombong” yang menghitam di
hati saya.
Sebenarnya
saya bisa mengambil satu jalan yang paling mudah saja, ketika satu hal kurang
menyenangkan menimpa hidup seseorang, maka cara paling gampang menaruh
kesalahan itu pada orang lain, karena kesalahan kamu saya menjadi begini dan
sebagainya, atau dengan kata lain, sedih
dan bahagia kita berada di luar diri kita sendiri.
Tuhan memang
menegur saya. Saya sombong? Sepertinya “iya”, saya terlalu ambisius? Itu juga
mungkin “iya”, tapi bukan berarti ungkapan ini saya tujukan untuk menjatuhkan
diri saya sendiri. Ada perbedaan besar antara introspeksi dan menyalahkan diri
sendiri. Nyatanya dalam hidup yang saling bersinggungan, tidak ada yang pernah
benar-benar berada pada posisi “Benar”
Kembali saya
bicara “Titik Nadir” membawa fitrah ketuhanan saya kepada sebuah itikaf,
membiarkan hati ini berdialog lama dengan pemiliknya. Jika dalam ajaran budha,
ada proses menjadi bukan siapa-siapa, penyerahan diri total, sehingga saat
berdialog dengan Tuhan, maka dengungan nyamuk saja tidak mampu terdengar atau
terabaikan begitu saja.
Saya sendiri
di akhir ramadhan yang lalu, tersungkur dan tersudut di sebuah masjid dengan
hati yang mungkin terlalu kering sehingga ketika hari ini terobosan air wudhu
itu membasuh wajah saya seperti menembus jauh ke dalam hati saya.
Tak ada
apapun yang saya dengar di sepertiga malam itu, selain deru nafas saya sendiri,
angin yang lolos menerobos dari kepala hingga kaki. Posisi kepala saya yang
menyentuh lantai sama posisinya dengan kaki yang menopang tubuh saya.
Ujub adalah
salah satu sumber dari sebuah masalah. Tanpa saya sadari mungkin saya sudah
menjadi manusia yang menyeramkan beberapa tahun terakhir ini. Jarang menengok
kanan kiri, menganggap bahwa semuanya berjalan dengan normal, padahal sesuatu
yang tampaknya nyaman, hanya sekedar tampak ternyata menuju jalan sebuah
kehancuran.
Sudah lama
saya tidak menangis setelah shalat, sudah lama juga saya tidak berdoa dengan
sungguh-sungguh. Sungguh-sungguh dalam artian meminta Allah menjaga saya,
membimbing saya, mungkin sudah bertahun-tahun yang lalu tidak pernah hadir
dalam doa-doa saya yang terkadang terburu-buru setelah shalat.
Sering kali
saya memiliki ilusi yang paling benar, tanpa menyadari kondisi yang tidak
nyaman di sekitar saya mungkin berasal dari cara saya bersikap dan memandang
segala sesuatu. Saya bukan sedang menyalahkan diri sendiri, tidak pula
mengambil tanggung jawab penuh atas kondisi ini, namun selalu ada
persinggungan-persinggungan di dalamnya, ada hati-hati yang saling tersentuh
atau sebaliknya dalam lingkaran hidup manusia itu, jika ada yang terluka tentu
sangat mungkin terjadi dari sebuah sikap, ucapan dan tindakan.
Fitrah
ketuhanan, rasa rindu bertemu dengan Ilahi, bisa dialami siapapun. Yang
berbahaya itu jika sudah dirundung duka justru semakin jauh dari Tuhan. Sudah
diberi ujian, teguran dari Allah, justru lari kepada hal-hal yang semakin
dibenci Allah.
Saya tidak
akan malu jika pengalaman ini dibaca oleh banyak orang. Setidaknya saya bisa
mengatakan bahwa ketika hidup ini terasa datar-datar saja bisa jadi kita ingin
bahagia yang lebih besar, jika hidup ini terasa terlalu bergejolak, bisa jadi
list keinginan kita terlalu besar. Namun saat stuck di tengah jalan, mungkin
inilah saatnya kita harus berdialog dengan pemilik hati, pemberi nikmat hidup
ini dengan dialog yang sesungguhnya.
Pukul tiga
pagi, setelah menahan malu yang luar biasa, saya memohon pada pemberi nikmat
hidup, saya ikhlaskan ini semua sebagai bagian dari jalan pematangan diri saya,
pendewasaan dalam menyikapi sebuah keadaan. Jauh dari suami, jauh dari anak dan
jauh dari keluarga saya yang lainnya seakan membuat saya menyadari seberapa
dalam makna kehadiran saya dalam hidup mereka, nyatanya saat itu sayalah yang
sedang merindukan mereka begitu dalam.
Ternyata,
kenyataannya memang seperti itu. ketika kita berada dalam sebuah gelombang
konflik dengan arus yang cukup keras, tak perlu berusaha melawannya, semakin
melawan semakin kita kehilangan energy, semakin kita tak menemukan apapun
selain kelelahan itu sendiri. Mencoba hanyut sejenak dalam arus itu sambil
memikirkan bagaimana mencari daratan, mungkin jauh lebih mampu memberikan kita
sebuah jalan keluar yang efektif dan menenangkan.
Saya tidak
tahu apa saya sudah melewati satu tingkat ketika diberi ujian ini. Suatu saat
mungkin akan saya kenang sebagai sebuah ujian langsung dari Allah, setidaknya
Ia tidak pernah meninggalkan saya, tapi sayalah yang sering kali
mengabaikan-Nya.
*****
Akhir Ramadhan 2013
#Perjalanan Jiwa
Aida,MA
Comments
Post a Comment