PROFIL SAYA di ATJEHPOST
Aida MA, Sarjana Ilmu Tanah yang jadi penulis buku
Profesi yang kini dilakoni Aida membuktikan bahwa untuk menjadi seorang penulis bisa dilakukan siapa saja.
USAI menyeruput es kelapa muda perempuan itu mengeluarkan gadget dari tasnya. Sesaat kemudian ia menunjukkan file yang tersimpan di sana. “Ini empat judul buku yang sedang saya kerjakan sekarang,” katanya kepada The Atjeh Times, Sabtu, 25 Mei 2013 lalu.
Perempuan itu adalah Aida Maslamah Ahmad, dikenal dengan nama pena Aida M.A. Aida adalah penulis buku Sunset in Weh Island, novel remaja yang mengambil setting dan mengeksplorasi eksotisme Pulau Weh, Aceh. Empat judul buku yang ditunjukkan Aida tadi semuanya dalam prosesdeatline untuk tiga penerbit berbeda. Salah satunya adalah Bentang Pustaka, penerbit yang sama untuk Sunset in Weh Island. “Bahkan ada yang sudah ditagih-tagih,” ujar ibu satu anak kelahiran Tapak Tuan, 27 Agustus 1982 ini sambil tertawa.
Di Aceh, nama Aida memang belum familiar. Ini karena Aida memang tidak berkarir di Aceh. Sejak menikah tahun 2006 lalu Aida hijrah dan menetap di Jakarta. Pekan lalu ia datang ke Banda Aceh untuk mempromosikan bukunya, Sunset in Weh Island. Di Banda Aceh Aida mengisi beberapa diskusi menulis dan on air di radio. Di sela-sela jadwalnya yang padat, alumni Fakultas Pertanian Unsyiah ini menyempatkan diri bertemu dengan The Atjeh Times. Agar tak terlalu formal kami pun sepakat bertemu di Lapangan Blang Padang.
Sambil menikmati es kelapa muda dan menyaksikan warga yang berolahraga di sana, Aida bercerita banyak mengenai karir kepenulisannya. Salah satunya adalah proses lahirnya novel Sunset in Weh Island. Novel ini lahir karena kecintaannya pada tanah rencong. Aceh, kata Aida sebagaimana daerah lain di Indonesia memiliki tempat-tempat menarik yang perlu dipromosikan. Ia pun memilih Sabang karena wisata baharinya yang sudah terkenal hingga ke mancanegara. Untuk meyakinkan sang editor Aida harus “mempresentasikan” kelebihan pulau di ujung barat Indonesia itu.
Meski fiksi, Sunset in Weh Island bisa jadihandbook bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke pulau di ujung barat Indonesia itu. “Bahkan banyak yang setelah baca novel ini jadi ingin datang ke Sabang,” katanya. Novel itu kini masuk jajaran buku best seller di Gramedia.
Menariknya novel tersebut hanya ditulis Aida dalam tempo tiga minggu. Itu sudah termasuk waktu yang dihabiskannya untuk riset. Selain mengambil tempat di Sabang, novel itu juga mengulas soal negara Jerman. Agar tak salah informasi Aida menjadikan mahasiswa Aceh di Frankfurt, Jerman sebagai narasumber.
Novel pertama Aida, Looking for Mr. Kim terbit pada tahun 2012. Sejak tahun 2010 perempuan berkulit putih ini mulai rajin mengikuti berbagai lomba di penerbit-penerbit. Namun berkali-kali pula ia kalah. Naskahnya ditolak penerbit. Namun berkat konsistensinya pelan-pelan usahanya mulai berbuah manis.
“Looking for Mr. Kim adalah pemenang lomba novel remaja pilihan Bentang Pustaka, naskah itu bersaing dengan 600 naskah dari seluruh penulis Indonesia, bahkan ada peserta yang berasal dari luar negeri juga,” kata penyuka hitam dan biru ini.
Di tahun 2012 itu Aida juga memenangkan lomba menulis soulmate writing battle di penerbit Leutikaprio, buku itu diterbitkan dengan judul Kereta Terakhir. Tahun itu juga catatan-catatannya di blog diterbitkan oleh penerbit Quanta, lini islami dari Elexmedia (grup gramedia Pustaka Utama). “Buku itu berupa buku motivasi islami judulnya Ya Allah Beri Aku Kekuatan,” ujarnya.
Sebelumnya pada tahun 2011 bersama dua rekannya Aida juga memenangi lomba kumpulan cerpen di penerbit Leutikaprio, kumpulan cerpen itu diterbitkan dengan judul Berbagi Hati. Di tahun 2013 ini setelah novel Sunset terbit, Aida sudah merilis dua judul lagi yaitu Ketika Cinta Harus Pergi dan novel popular dewasa The Mocha Eyes.
Istri Erry P. Affandi ini sebenarnya mulai mengenal dunia literasi sejak masih anak-anak. Saat masih sekolah di MIN Tapak Tuan, ia senang berlama-lama di pustaka pribadi milik ayahnya, H Ahmad Ibrahim, BA. Di sana Aida menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku koleksi sang ayah, mulai buku kumpulan doa sampai draft naskah manasik haji. Dari sana ketertarikannya pada dunia menulis mulai muncul.
Memasuki MTsN, perempuan ramah yang tahun lalu memenangi Biovision Writing Competition dan When I Broke Up di Leutikaprio ini mulai mengikuti lomba menulis karya ilmiah mewakili sekolahnya. Aida remaja juga senang membuat puisi dan prosa. Waktu di MAN ia mulai aktif mengelola majalah dinding Remaja Dakwah di MAN Model Banda Aceh. “Hobi itu terus berlanjut sampai saya bekerja,” kata Aida yang pernah menulis di web infobunda.com ini.
Kini selain sibuk menulis Aida juga menjadi pembicara di berbagai kelas menulis. Ia diminta menjadi coach writing di kelas novel Rumah Pena, mengisi talkshow menulis di radio dan mengajar untuk kelas motivasi dan writing class di Sabiluna Islamic Boarding School. Belakangan ia diminta mengisi kelas Ngaji Fiksi untuk guru se-Jabodetabek di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dengan seabrek kegiatan itu, bagaimana Aida mengatur jadwal menulisnya? “Saya termasuk orang yang gampang menulis, bisa menulis di mana saja,” kata Sarjana Ilmu Tanah yang lulus cumlaude tahun 2004 silam.
Tak terasa dua jam berlalu, kami terpaksa mengakhiri obrolan karena azan magrib berkumandang. Langit Banda Aceh mulai gelap. Di ujung perpisahan Aida masih sempat berpromosi. “Ayo-ayo menulis, menulis itu asyik lho!”[] ihn
wuihhh penulis terkenal. saya pengen banget bisa nulis sastra, tapi bisa ngajar dan blogwalking gini aja udah sukur. jadi bu aida full time menulis ya
ReplyDeleteHallo rusydi salam kenal...Aku ngajar Dan nulis :)
Delete