Behind The Scene THE MOCHA EYES
Kata orang bijak, jangan berharap hasil yang luar biasa
dengan kerja yang biasa-biasa saja, sepertinya itu berlaku dalam segala hal.
Termasuk di balik karya-karya yang terbit selalu ada sejarah yang dibangun di
situ, ada sebuah pengorbanan yang besar. Mungkin butuh riset bertahun-tahun
untuk novel sejarah-nya Langit Kresna Hariyadi. Akan ada banyak penolakan dan
larangan dari kisah yang diangkat dalam karya Vladimir Nabokov. Namun di
situlah menariknya sebuah proses yang mampu membungkus sebuah ide hingga
digiring menjadi sebuah karya, baik kemudian diterima atau kurang disukai oleh
penikmat literasi.
Setiap karya
sahabat penulis yang terbit, hanya satu hal yang paling menarik bagi saya,
bagaimana mereka melewati riset yang panjang, memelihara feel yang terkadang moody.
Di sinilah uniknya di balik terbitnya sebuah buku.
Sesederhana
apapun karyanya. Selalu ada perjalanan yang dibangun dan melekat dalam hati si
penulisnya sendiri. Apa yang saya bagi saat ini, mungkin tak akan menjadi hal
yang luar biasa bagi yang lain, namun dalam perjalanan saya sebagai penulis
yang kurang dari lima tahun berkarya, Novel The Mocha Eyes menjadi salah satu
bagian penuh perjuangan bagi saya dalam proses penyelesaian naskahnya.
Sejak awal,
saat penawaran kerjasama ini diajukan kepada saya, akhir tahun 2012 lalu oleh
editor Bentang Populer, ada saja yang miss
terjadi. Dimulai dari design penokohan yang saya kira bebas (di awal saya
mendesign tokoh utamanya laki-laki) namun ternyata semua harus dirombak habis
menjadi tokoh utamanya adalah wanita.
Seharusnya
saya sudah bisa mengirimkan Outline saja jika sinopsis awalnya sudah disetujui
oleh Editor Bentang Populer. Namun saya harus memutar pikiran lagi,
mengacak-acak ide yang sudah ada sampai amburadul dan mood saya berkurang,
sebentar-sebentar saya ke kedai kopi Amerika itu, memesan semua hal yang berbau
Moka, mengecap rasa yang terlalu manis di lidah saya, karena biasanya selalu
minum kopi tanpa gula.
Seminggu
kemudian saya mengirimkan kembali sinopsis novel dengan tema What’s your love flavor itu ke editor
saya dan langsung di-acc, lanjut ke outline.
Seminggu kemudian outline dikirim dan juga langsung diacc, hanya sedikit komen
editor saya yang baik itu, butuh penggambaran lebih detail lagi di bab 1 nya.
Baiklah, mari segera kita perbaiki cetus di kepala saya saat itu.
Saya diberi
waktu 1 bulan untuk menyelesaikan naskah ini. Waktu yang cukup jika tak butuh
riset yang terlalu panjang dan njelimet.
Tokoh saya di sini juga beda dengan tokoh di beberapa buku saya sebelumnya. Butuh
riset dalam Hypnotherapy dan sedikit pekerjaan di restoran cepat saji.
Syukurnya saya punya suami yang seorang Hypnotherapis dan adik ipar saya yang
pernah menjadi STAR di restoran cepat saji. Jadi tak terlalu sulit untuk
mengejar mereka berdua saat saya butuh beberapa info yang khusus dalam dua hal
tadi.
Ternyata
saat diberi kemudahan dalam hal lain, ada tantangan di sisi yang lain pula.
Seminggu sebelum deadline, naskah novel The Mocha Eyes hampir mencapai ending.
Saya sudah berniat menyelesaikannya empat hari sebelum deadline. Sampai-sampai
naskah itu saya kerjakan setiap hari, setiap ada kesempatan menulis saya
usahakan menulis walaupun hanya dapat 3 halaman di sela-sela pekerjaan yang
juga harus dikerjakan.
Hanya sisa tiga bab lagi dan ternyata MacBook Pro saya
ngambek. Anehnya hanya ngambek pada file
yang sedang saya kerjakan. Ini juga pernah terjadi saat saya menyelesaikan
novel setebal 167 halaman dalam satu minggu, file yang sama juga ngambek, rusak tidak bisa dibaca.
Keteledoran
saya adalah saat back up nya tidak
setiap hari saya update. Hanya 40
halaman yang tersave dari 160halaman yang sudah selesai dikerjakan.
Sampai-sampai sahabat saya mencandai saya,
“Kamu nulis 160 halaman back up nya engga setiap hari dan engga diback up di email?
Kalau di kantorku, kamu sudah kena SP 2” guyonnya pada saya.
Wah, luar
biasa hati saya ketar ketir, feel menyelesaikan 160 halaman itu tentu engga
akan serta merta langsung hadir lagi saat lebih dari setengah isinya rusak dan
harus ditulis dengan feel yang baru.
Seharian
saya engga enak hati, saya langsung hubungi editor saya, minta ditambahin waktu
seminggu dari jadwal Deadline. Saya tidak mau dianggap tidak professional saat
Deadline naskah saya belum selesai.
Seharian
saya tak berniat melihat om MacPro, saya keluar rumah, hati saya galau tak
menentu (heheheh) saya membeli es krim dua scope, lalu menonton film yang
bergenre komedi di bioskop, tapi saya benar-benar tidak bisa tertawa sama
sekali, saya tidak menikmati apapun yang saya lakukan hari itu, baik es krim
yang terasa tidak nikmat, atau film komedi itu yang sama sekali tidak asik.
Menjelang
sore saya harus pulang, menjemput anak saya, dan tetap harus bersemangat di
depan anak saya yang selalu ceriwis dalam keadaan apapun, bahkan menjadi
hiburan saat naskah ini sempat menyita mood saya dan rasa kesal saya pada diri
saya sendiri.
Selama di
kendaraan perjalanan pulang ke rumah, saya mulai mensugesti diri saya sendiri,
persis seperti tokoh Muara yang saya ceritakan dalam novel ini, bagaimana ia
harus memotivasi dirinya sendiri, memaafkan kesalahan ini dan memulai lagi pada
hal-hal yang baru.
Saya mulai
membuka lembaran word lagi, menatap
jumlah halaman naskah yang terback up hanya 40 halaman itu, lalu menatap outline yang tak akan berubah jadi
apapun jika tidak saya eksekusi sesegera mungkin. Bismillah, saya mulai
mengerjakannya lagi, meng-entertain mood saya lagi, dan berbagi kata memaafkan
diri sendiri dan mengambil pelajaran yang patut dipetik di sini.
Sehari saya
menulis 30 halaman dan sampailah di hari Deadline saya menyelesaikan naskah itu
170 halaman dan selesai, kurang dari 2 minggu. Perjalanan memotivasi semangat
dan menata hati yang kesal pada diri sendiri (hahahhah..)
Naskah
terkirim dan revisi satu kali selesai. Hanya saja ada perubahan dalam judulnya.
Awalnya berjudul Brown Eyes, akhirnya diganti menjadi The Mocha Eyes, dianggap
bisa mewakili dari tema “What’s Your love flavor” dalam novel ini.
The Mocha
Eyes, sebagian besar menceritakan tentang perubahan, sangat pentingnya
memaafkan, menghapus dendam, cinta yang tulus. Di sini saya juga menyinggung
tentang kampanye anti rokok, dan tindak keras pada pelaku pelecehan seksual.
Namun lebih dari itu, lewat tokoh Muara saya ingin menyampaikan bahwa memaafkan adalah obat terbaik untuk hati
yang terlalu sakit, karena kebaikan memaafkan akan kembali pada si pemberi
maaf.
Saya bagi
beberapa quote dalam novel The Mocha Eyes ini ya, semoga bisa mengambil setitik
atau dua titik manfaat di dalamnya.
“Ada sesuatu yang berada
di luar kontrolmu, jadi jangan terlalu menaruh sebuah harapan berlebihan.
Apalagi ketika tidak sesuai dengan harapan, kamu akan setengah mati belajar
untuk tetap waras (The Mocha Eyes)”.
“Kadang-kadang ketika
orang-orang mengatakan hal-hal yang jahat dan tidak bijaksana, yang terbaik
adalah sedikit menutup telinga, berhenti menyimak, dan bukannya balas membentak
dalam kemarahan atau ketidaksabaran-Ruth bader (The Mocha Eyes)”
“Jika di dunia ini tak
ada seorang pun yang bisa kamu percayai, setidaknya kamu harus percaya pada
dirimu sendiri. Itu alasan yang paling kuat untuk kamu tetap hidup, untuk
kebahagiaanmu sendiri, bukan untuk siapa-siapa (The Mocha Eyes)”
“Perasaan manusia itu
ibarat cangkir, setiap saat diisi dengan berbagai macam hal. Kamu tidak akan
merasakan bahagia, jika kamu membiarkan cangkirmu diisi penuh dengan sesuatu
yang rasanya hanya pahit. Rasa cangkirmu berdasarkan apa yang kamu pilih! (The
Mocha Eyes)”
Finally, saya kembalikan kepada pembaca
semuanya, karya ini bukanlah kitab suci, maka sangat mungkin banyak kekurangan
di sana sini, namun besar harapan saya, The Mocha Eyes mampu memberikan warna
yang berbeda dalam dunia literasi Indonesia.
Jakarta, 8 Juni 2013
Pukul 12.05 WIB.
Aida, MA
Gila! selalu diselesaikan dalam 1 bulan, bahkan kurang. Ckckckck, benar-benar iri dengan semangat dan caramu mengeksekusi ide, Mbak.
ReplyDeleteSemoga sukses seperti buku-buku sebelumnya. Aamiin :)
Selalu mengingat bagaimana mengenalmu Mba fit..kamu saksi perjalanan Ini Heuheu...
DeleteBagaimana pun, salut sama produktifitas Mbak Aida *lirik diri sendiri, ah maluuuu...
ReplyDeleteOh ya, back up itu penting banget mbak, sebelumnya aku juga pernah mengalami hilang naskah, sejak itu kek jadi pecut biar gak terulang :-)
Hooh....Dan sebelnya Dan extra hati2 sekarang Heuheu..
DeleteSelamat.... Ini buku akan menginspirasi banyak orang..... Insya Allah.
ReplyDeleteAmin ya rabb
DeleteGood job, mudah-mudahan saya bisa juga menulis novel dlm waktu 1 bulan. Semoga berjodoh dengan Mocha Eyes, saya belum baca. :)
ReplyDeleteTerimakasi banyak....semoga tidak mengecewakan ya.
DeleteManta bener kak Aida!!!!!!
ReplyDeleteAh ferhatt..senyummu itu Heuheu...
Deleteluar biasa mba,,,,salut! NB:Bona titip salam >.<
ReplyDeleteMakasih steve..dirimu juga cikgu yg keren.
Deletewah dalam sebulan 1 novel jadi? keren mba Aida :)
ReplyDeleteMakasih mas...ayo nulis :)
Delete