Resolusi, Perlukah?
Buku-buku saya |
Katakanlah saya katro, karena saya sama sekali tidak pernah
merayakan atau sekedar masak ayam bakar untuk tahun baru. Sejak 2008 lalu
satu-satunya moment yang paling menarik saat tahun baru hanya saat usia anak
saya bertambah di tanggal 01 January, ya persis tahun baruan yang selalu
dirayakan semua orang sedunia.
Hal lain
yang selalu menjadi menarik di tahun baru mungkin banyak orang yang tiba-tiba
ikutan bikin resolusi di awal tahun untuk satu tahun ke depan, Saya engga
bilang budaya menyusun resolusi ini budaya yang latah, karena selama itu bagus,
didasari niat dan pelaksanaan, tentu saja itu bisa menjadi hal yang patut
dilestarikan (hehehe.)
Saya sendiri
bukan penganut penyusun resolusi pas moment tahun baruan, tapi benar saya
penganut resolusi tanpa moment yang dirayakan secara massal. Saya ingat ketika
seorang sahabat mengatakan pada saya, minimal kalau kamu mau melihat perubahan
di dirimu kamu, bisa diamati dari akun facebookmu. Apa perubahan yang terjadi
di sana, kalau dari dulu cuma begitu-begitu doang, atau statusmu cuma omongin
keluhan, engga ada hasil karya apapun, bisa jadi kamu nyusun resolusi cuma buat
ikut-ikutan biar kalau ada yang nanya “Apa resolusi kamu tahun ini?” setidaknya
sudah punya jawaban dan segudang list sekaligus lengkap action plan untuk
wujudkan impian kamu.
Saya
tertarik dengan istilah pak Naqoy tentang One Minute Awarness, bahwa seseorang berubah, berarti maju
ke depan bisa jadi bukan karena sebuah perayaan, setiap kita punya gong perubahan
itu kapan saja, dimana saja dan dari siapa saja. Sementara tahun baruan
hanya sebuah moment perayaan yang dibarengi dengan sebuah atau dua buah
resolusi. Tidak mengapa jika ingin berubah setiap tahun baru dan punya
cita-cita baru, tapi sampai saat ini saya sadar bahwa sebanyak apapun list
keinginan saya untuk berubah, punya impian baru tak akan berguna jika saya
tidak bergerak untuk berubah.
Nah
kenyataan seperti ini yang kemudian banyak saya jumpai termasuk pada anak-anak
didik saya. Mereka membuat resolusi bukan hanya satu bahkan sampai tiga
resolusi. Setiap per enam bulan kemudian saya mulai evaluasi setiap resolusi
mereka, dan yang hanya melaksanakan resolusi itu tak sampai 5 orang dengan
pencapaian 30-40 persen.
Jadi kembali pada seberapa banyak kita
bergerak untuk berubah, bukan seberapa banyak keinginan untuk berubah. Karena
ingin hanya sampai pada ingin saja, namun tidak menghasilkan apa-apa ketika
kita hanya sampai pada persepsi ingin dan tidak mencapai konnfirmasi ingin J.
Sejujurnya
tahun lalu saya hanya membuat satu resolusi saya, bisa menerbitnya 1 buku solo,
terserah mau di penerbit manapun yang penting saya harus menerbitkan satu buku
saja.
Mungkin
benar ketika dikatakan bahwa ada kondisi semesta mendukung (MestaKung) saat
kita benar-benar berniat dan mengupayakan semaksimal mungkin kekuatan untuk
menggoalkan sebuah cita-cita. Dan itu terjadi dalam dunia menulis yang saya
alami sekarang ini.
Setidaknya
dalam tahun 2012, saya sudah melahirkan 1 buku Kumcer, 1 novel remaja, 1 Buku
Motivasi. 2 naskah Novel yang saya selesaikan dengan tekanan deadline, masih
ada beberapa cerpen, resensi film dan esai yang saya tulis sebagai selingan
sebagai ajang agar selalu candu untuk menulis. mungkin pencapaian ini sangat sederhana dibandingkan orang lain, tapi buat saya itu cukup baik untuk melecutkan kaki saya agar bergerak lebih cepat untuk mengurangi ketinggalan-ketinggalan saya selama ini, atau menggerakkan pena saya lebih sering agar mengabadikan lebih banyak aksara lagi untuk ke depan.
Saya percaya
ada kekuatan doa dalam setiap usaha,
namun saya juga percaya ada kekuatan pikiran yang terus berpikir kreatif dan
keluar dari kondisi nyaman, nyata nya semua buku saya yang terbit tahun 2012
semuanya di bawah tekanan keadaan lingkungan, deadline dan proses menunggu yang
cukup lama.
Jadi,
kembali pada momen tahun baru ini. Jika ingin membuat sebuah atau dua buah
resolusi silahkan, tapi alangkah baiknya keinginan itu dibarengi dengan
kedisplinan dan tekad, kira-kira seperti itu kalimat yang saya ucapkan pada
mantan santri saya dulu via sms.
Kedengarannya ucapan saya sangat standart,
namun bagi yang sudah terbiasa dengan disiplin dan melaksanakan setiap
resolusinya pasti tahu bagaimana konsekuensi dari kalimat tersebut. Setidaknya postingan
ini bisa menjadi pengingat buat saya sendiri yang baru memulai karier menulisnya
di dunia literasi Indonesia.
Selamat
Tahun Baru dan Good luck… J
Jakarta, 2 January 2012
Pukul 21.28 WIB
Aida MA
saya gak biasa membuat resolusi. Kecuali ikut lomba atau GA :D hihihi latah ya ...
ReplyDeletehahahahha...resolusi dadakan dan kepept itu namanya mba, biasanya jauh lebih mujarab wkwkwkwk..
Deleteidem ma mugniar... aku nulis resolusi guna memenuhi tuntutan give away atau lomba yang hadiahnya semua resolusi akan dibukukan.. hehehe..tapi gara-gara udah nulis, jadi berusaha keras untuk memenuhinya sih, karena malu juga dah nulis tapi gak dikerjain.. jadi saranku: mending gak usah bikin resolusi emang, hidup jadi lebih santai dan rileks... (hahaha...komen ngaco, gak usah didengar)
ReplyDeleteWkwkwkwkw....aku juga bukan penganut resolusi tahun baru mba..biasanya kita pasti bikin resolusi kalo udah kepepet...biasanya ajibbb tuh xixixxi
Deletehahahaha ketauan yg komen diatas, ikutan giveaway kuuuu. aku juga ngga biasa buat resolusi, tapi krn ultahnya awal tahun ya sekalian ajah muhasabah diri dan bikin perencanaan ke depan, krn buatku hidup tanpa recana itu sama aja kayak roda pedati yang menggelinding di jalan menurun, tabrak sana-sini ngga ada juntrungannya.
ReplyDelete