Behind The Scene SUNSET IN WEH ISLAND (My New Novel)
Sunset In Weh Island, Bentang Pustaka |
Setelah
terpilih sebagai pemenang pilihan di event lomba Novel Bentang Belia akhir tahun
2011 lalu, saya seperti memiliki ikatan hati dengan penerbit Bentang Pustaka,
terutama lini Bentang Belia. Pengukuhan ikatan hati itu tepatnya setelah saya
bertemu langsung dengan beberapa penulis bentang belia, jajaran editor, bagian
promosi sampai dengan CEO Bentang Pustaka, Salman Faridi di acara Talk show
bersama Penulis Bentang Belia di Jakarta Bookfair, Juli 2012 lalu.
Beberapa
waktu lalu saya sempat menuliskan sebuah status di akun FB saya, bahwa
membangun kinerja yang baik dengan penerbit dan editor bisa jadi senjata yang
ampuh untuk kemajuan dalam berkarya. Tidak mudah ngambek saat diminta revisi
dan selalu tepat waktu bisa jadi nilai plus bagi editor yang notabene dengan
tanggung jawab dan pertimbangan yang besar untuk menggoalkan sebuah naskah
dengan jaminan bisa saja puluhan juta melayang jika naskah tersebut gagal di
pasaran.
Saat merevisi Looking for Mr.Kim saya bekerja dengan editor bentang belia yang
bernama Dila Maretihaqsari. Saya menemukan ritme saat bekerja dengan Dila
(tidak pernah mau dipanggil “mba”) dia editor yang fair, di antara koreksiannya
yang terkesan mengejek tapi dia juga ga sungkan-sungkan untuk memuji kalau ide
cerita yang penulis tawarkan menarik dan kemungkinan akan dilirik pembaca. Ini
juga yang membuat saya nyaman kembali bekerjasama dengan bentang pustaka dan
Dila.
Sebelum
Bentang Belia melakukan audisi untuk penulis bentang belia, saya sudah duluan
dihubungi Dila untuk menulis Fan Fiction, tapi saya menolaknya karena saya
merasa daya imaginasi saya untuk menulis Fan Fiction belum lincah-lincah amat,
daripada naskah tidak kelar, akhirnya kesempatan itu saya tolak.
Kesempatan
kedua ternyata muncul lagi, saat bentang punya project novel bersetting kota
romantic saya kembali ditawari menulis di Bentang. Kali ini saya setuju,
walaupun kemudian pilihan kota Jepang yang saya tawarkan ditolak Dila, karena
sudah ada yang menulis untuk Jepang. Kemudian saya berpikir untuk menulis
dengan setting Venice, salah satu kota romantic yang masuk dalam list tujuan
travelling saya (hehehe) tapi entah mengapa saya mengurungkan niat untuk
memilih Venice, sampai akhirnya saya mengutarakan tentang perasaan cinta saya
pada eksotika tanah air yang tak kalah cantik dan romantisnya dibandingkan
kota-kota seperti Venice, Shanghai, New Zealand pada Dila.
“Dila…Gimana
ya, sebenarnya aku masih cinta Indonesia”
Kalau bisa promo daerah sendiri kenapa
harus promo negara lain, begitu pikir saya. Akhirnya tercetuslah di kepala saya
untuk menuliskan spot-spot romantic di pulau Sabang. Ide ini tentu saja tidak
serta merta diterima oleh Dila, saya tahu benar, Sabang tidak seheboh Bali,
Lombok atau belakangan Belitong lewat Laskar Pelangi-nya. Dila memang tidak
menolak juga belum menerima, dia kasih kepastian diterima atau tidak setting
Pulau Weh setelah keesokan harinya.
“Pulau Weh accepted!”
Kira-kira seperti itu isi BBM dila ke
saya. Girang? Pasti. Saya pikir ini akan jadi kesempatan baik buat saya
bercerita tentang Sabang dengan pantai-pantainya yang memikat hati saya, atau
juga bisa mengobati kerinduan saya pada pulau ini, karena sejak pindah ke
Jakarta saya belum pernah berkunjung lagi ke Sabang.
Tiga hari kemudian saya mulai mengirimkan
synopsis, pengiriman pertama saya diminta revisi bahkan sebagian besar cerita
yang saya tawarkan diubah total (hahahah) belum selesai dengan synopsis, saya
sudah dikirimi jadwal deadline untuk project ini. Seminggu untuk outline dan
bab 1 dan 1 bulan untuk menulis naskah sepanjang 150-200 halaman TNR.
Tiga hari sebelum deadline Outline, saya
sudah mengirimkan ke Dila Outline lengkap dengan Bab 1. Setelah diacc dengan
beberapa catatan yang sempat membuat dada saya berdegub kencang karena catatan
dari editor saya ini cenderung mirip “warning” (xixixi), mulailah kerja otak
selama 1 bulan itu dimulai.
Seperti kebiasaan saya setiap menulis
naskah, harus riset terlebih dahulu, mengumpulkan bahan baku untuk pondasi
tulisan saya. Hunting kamus besar bahasa Jerman, tiba-tiba bergabung dengan
komunitas backpacker Indonesia dan mulai rajin masuk ke situs-situs diving
Indonesia. Tidak cukup dengan itu saya menghubungi dua orang teman saya yang
berdomisili dan penduduk asli dari kota sabang (terimakasih Ira dan bang
Idank). Untung saja saya engga keburu dilempari penggilingan sama mereka
berdua, karena sebentar-sebentar saya nanya ini itu dan mungkin agak sulit bagi
mereka menjelaskannya panjang lebar lewat BBM.
Walaupun kebanyakan bersetting Sabang, dan
hanya satu bab bersetting Frankfurt dan Goettingen, saya tetap harus
menghubungi salah seorang teman yang sedang study di sana (Aduen Saiful
Akmal..danke!) yang saya kirimi pesan inbox tengah malam. Ada lagi beberapa
orang teman lainnya seperti Yaisar Dinarto yang bantuin saya mengambil foto
gambaran rute jalan dari masjid Baiturrahman sampai dengan pelabuhan Ulhee
lhee, karena memang terakhir kali saya menyebrang ke pulau aceh dari pelabuhan
ulhee-lhee, kondisi pelabuhan saat rekonstruksi aceh pasca tsunami saat itu
masih dalam kondisi darurat. Dan beberapa perubahan tata ruang kota Banda Aceh
yang sudah banyak berubah dibanding dulu saat saya tinggalkan.
Pada bagian-bagian tertentu novel ini ada
menggunakan dialog dalam bahasa jerman, syukurnya saya dibantu oleh mba Rima
Ria Lestari yang bersedia membantu saya untuk membenarkan letak tata bahasa
Jerman. Dan terakhir orang yang cukup berkontribusi dalam novel ini teman
se-aliyah dengan saya Yusrizal yang juga membantu saya untuk mengetahui sedikit
tentang Bundes Liga.
Seminggu sebelum deadline, atau tepatnya 3
minggu saya sudah menyelesaikan 173halaman, waktu yang lebih lama seminggu
daripada saat saya menyelesaikan Looking for Mr.Kim (2 minggu), tentu ini sudah
memenuhi target yang diminta. Tapi editor saya ini sedikit usil, belum sebulan
tiba-tiba dia mengirimi saya email, intinya dia nanya “apa kabar mba?
Naskah..gimana naskah?” (busheettt dahhh…belum sebulan udah main tagih ajah
heuheuheu..)
Naskah 173 halaman itu pun akhirnya saya
kirim sebelum deadline, berhubung editor tercinta ini kerjanya cepet, 2 hari
kemudian dia kirim kembali naskah saya yang menjadi full color kayak warna
pelangi, intinya saya harus revisi di beberapa bagian, namun yang sudah pasti
saya harus menambahkan banyak kalimat lagi, hasilnya naskah 173 halaman itu
menjadi 200 halaman (batasannya tak boleh lebih dari 200 halaman) setelah 2
hari saya pelototi. Syukur hanya sekali revisi dan Alhamdulillah selesai,
naskah itu masuk juga ke tahap proofing, dan saya pun lega.
Harapan saya sama dengan buku-buku yang
saya tulis sebelumnya, semoga saya bisa memberikan kontribusi dan warna dalam
dunia literasi Indonesia, tentu saja dalam hal ini untuk mempromosikan Sabang
sebagai icon tujuan wisata selanjutnya jika pelancong berkunjung ke Indonesia
selain Bali, Bunaken atau Raja Ampat.
Setelah novel SUNSET IN WEH ISLAND ini terbit, harapan saya selanjutnya dapat
diterima di lingkungan pembaca remaja (khususnya) sebagai bacaan yang
menghibur, menambah informasi dunia wisata yang dikemas dalam sebuah kisah
cinta di tanah Sabang. Jika pun ada kekurangan dalam novel ini, anggap saja itu
bagian dari proses saya belajar untuk menghasilkan karya yang lebih baik di
waktu yang akan datang. Terimakasih.
Jakarta, 06 January 2013
Pukul 23.14 WIB
Aida MA.
Comments
Post a Comment