Wisata "Amboiii" di Belitong


                Cerita ini masih tentang perjalanan ke Belitong Juli lalu. Bagi yang berminat atau sedang merencanakan jalan-jalan ke Belitong bisa membaca beberapa tempat dalam cerita saya ini yang banyak direkomendasikan sebagai tujuan wisata di Belitong.

            Sekitar tanggal 9 Juli, saya dan 2 pemenang utama Biovision and Nulisbuku Writing Competition, bersama tim biovision dan nulisbuku.com menggunakan maskapai lokal terbang ke Tanjung Pandan, kurang lebih 1 jam waktu tempuh dari Jakarta-Tanjung Pandan. Pesawat yang kami tumpangi mendarat di bandara HAS Hanandjoeddin, Tanjung Pandan. Oleh masyarakat setempat bandara ini juga sering disebut dengan Buluh Tumbang. Secara bentuk bangunan, bandara ini memang sangat sederhana dan kecil, jadi mengingatkan saya pada Bandara Sultan Iskandar Muda sebelum tsunami Aceh.

Bandara HAS Hanandjoeddin, Tanjung Pandan-Belitong


Begitu tiba di pintu kedatangan, mata saya langsung tertuju ke sebuah poster yang dipasang di sisi kiri pintu kedatangan “SELAMAT DATANG DI BUMI LASKAR PELANGI” saya langsung berdecak kagum begitu hebatnya karya bang Ikal sampai-sampai membuat Belitong seterkenal saat ini. Namun sayangnya di dalam ruangan kedatangan saya tidak menemukan peta Belitong atau tujuan wisata Belitong seperti yang ada di Ngurah Rai, Bali. Untungnya kami sudah menggunakan jasa tour guide selama di Belitong, jadi semua sudah diurus oleh guide-nya.

            Saat saya tiba, cuaca di Belitong tidak terlalu bagus, angin agak kencang yang membawa uap air sangat mudah membuat dehidrasi. Apalagi kemudian sesekali berganti panas terik matahari. Jadi selama di Belitong siap-siap untuk banyak mengonsumsi air putih. Ohya, sebelumnya, jika berniat ke Belitong ada baiknya direncanakan pada bulan Juni-Juli karena iklim di Belitong cukup bersahabat pada dua bulan tersebut.

            Pertama menginjak tanah Belitong selain kisah laskar pelangi ada hal yang menarik buat saya selama di sana. Bayangkan saja kota sekecil itu dengan jumlah kendaraan yang sedikit namun memiliki fasilitas jalan yang mulus, rasanya selama saya di Belitong tidak ada jalan yang saya jumpai berlubang, semuanya dalam kondisi mulus dan tentu saja tak ada macet. Selain itu menurut tour guide kami, Belitong juga terkenal masih aman, terbukti dari setiap rumah yang ada di sisi kanan dan kiri jalan raya tanpa pagar yang tinggi, mereka hanya memagarinya dengan pagar tanaman yang tingginya kurang lebih sebetis orang dewasa.

            Memasuki tengah kota Tanjung Pandan, tepatnya persimpangan tengah kota terdapat sebuah replika batu raksasa yang berwarna hitam, bagi warga Belitong sendiri disebut dengan Batu Satam, diambil dari bahasa Tionghoa, sementara seorang ilmuwan Belanda yang bernama Ir. N. Wing Enston menyebutnya dengan Billitonite atau batu meteorit di pulau Belitung (Dalam buku De Ontwikkeling vanhet Billiton en van de Billiton Maatschappy, karangan J.C. Mollema) karena memang hanya ditemukan di Belitong bersamaan saat penambangan timah. Hebatnya batu Satam ini juga dianggap memiliki kekuatan supranatural, dan sekarang batu ini dijadikan cendera mata khas Belitong.
Replika Batu Satam di Tengah Kota Tanjung Pandan

            Dari sini, saya akan mulai mengajak teman-teman untuk menjelajahi beberapa tempat wisata yang keren di Belitong, mulai dari Pantai Tanjung Pendam, replika SD Muhammadiyah, Bendungan Pice, Kopi Manggar, Hopping Islands, Pantai Tanjung Tinggi,  Danau Kaolin, Rumah Panggong dan Museum Timah.

            Saya beruntung perjalanan kali ini menginap di sebuah hotel Grand Hatika yang berhadapan langsung dengan pantai, pantai itu bernama Tanjung Pendam, tak seperti pantai-pantai kebanyakan baru kali ini saya melihat pantai yang begitu tenang. Mungkin, karena buat saya pantai dan laut itu selalu identik dengan riuh ombak, terlihat di Tanjung Pendam berjarak beberapa kilometernya hanya terdiri dari genangan air laut dan terumbu karang yang ditumbuhi sebagian tanaman mangrove yang tak cukup subur. Mungkin karena Tanjung Pendam banyak dikunjungi pengunjung dan sepanjang pantainya dipenuhi warung-warung dan tenda-tenda penjaja makanan, pantai ini menjadi kurang rapi dan bersih, nampak beberapa sampah masih bertebaran di sekitar pantai.

Tanjung Pendam, Pagi hari

           
Tanjung Pendam sendiri sebenarnya pantai yang terletak di sebelah Barat Belitong, jadi jika ingin melihat sunrise, itu sangat tak mungkin dilihat dari sisi Tanjung Pendam, namun jika ingin melihat sunset mungkin Tanjung Pendam akan menjadi pilihan yang baik. Jika di sore hari Tanjung Pendam bisa menjadi pilihan untuk jalan-jalan sore atau menikmati secangkir kopi oi atau kopi hitam, itu juga yang saya lakukan saat di Belitong kemaren, menunggu senja datang ditemani laptop sambil menyelesaikan naskah Novel saya yang belum selesai.

Bergerak dari Tanjung Pendam, kami berangkat ke salah satu tempat yang sangat ingin dikunjungi di Belitong, tentu saja replika SD Muhammadiyah Gantong, jarak dari Tanjung Pandan ke Gantong ternyata cukup lama bisa mencapai 1,5 jam, dan jarak perjalanan kira-kira 70 km dari Tanjung Pandan. Jadi saya sempat tertidur sejenak di mobil sebelum sampai di desa Gantong.

di depan Replika SD Muhammadiyah, Gantong

Replika SD Muhammadiyah (tampak depan)
CSR Biovision bersama anak2 SD Muhammadiyah, Gantong



            Sebenarnya SD Muhammadiyah saat ini sudah dibangun permanen dan sangat layak digunakan untuk aktivitas belajar, namun yang menjadi perhatian saat ke Gantong adalah Replika SD Muhammadiyah tempo dulu yang dijadikan lokasi syuting Film Laskar Pelangi ini memang bisa dikatakan sangat mengenaskan dan hampir rubuh. Terdapat lubang di sana sini, ya persis seperti yang digambarkan dalam Film Laskar Pelangi. Selain replika SD Muhammadiyah, di Gantong sendiri saat ini sedang dibangun sebuah galeri Laskar Pelangi yang didirikan sendiri oleh Andrea Hirata. Selama di Gantong sendiri, salah satu tujuan lainnya adalah bertemu dengan Ibu Muslimah, tokoh guru wanita yang sangat berjasa dalam Film Laskar Pelangi, untuk bagian ini akan saya ceritakan dalam postingan yang lainnya ya (heheheh..).

            Bergerak dari Gantong, kita menuju ke Bendungan “Pice” menikmati before sunset yang manis di sini. Sebenarnya tak ada hal yang menarik lainnya di sini selain menikmati air bendungan dengan sungai Lenggang yang berkelok-kelok membelah hutan Belitung timur. Rasanya nyaman saat memandangi sungai Lenggang yang diterpa cahaya matahari ditambah sambil minum kopi di warung yang ada di sekitar bendungan tersebut.

Bendungan "Pice" before sunset terlihat sungai lenggang yang tenang


            Sebenarnya Bendungan Pice ini dibangun pada jaman kolonial Belanda untuk kegiatan penambangan timah. Namun saat ini masih tetap digunakan untuk mengatur debit air di hulu sungai Lenggang.

            Dari bendungan Pice kami berangkat ke Manggar. Jika ingat adegan Lintang dan Ikal mengayuh sepeda dari Gantong-Manggar maka pasti akan tahu seberapa jauhnya anak sekecil mereka mengayuh sepeda. Jarak Gantong-Manggar sekitar 30 km, bisa bayangkan mandi keringat mengayuh sepeda dengan kondisi panas terik (heheh..).

            Uniknya di Manggar ini banyak sekali warung kopi bahkan karena saking banyaknya warung kopi di Manggar, oleh pemda setempat membuat kompetisi kedai kopi teramai (hehehe). Sempat juga saya melihat toko A ling yang bernama “Sinar Harapan” telah berganti nama, dan kondisi tokonya juga sudah lebih baik daripada yang digambarkan dalam film Laskar Pelangi.

Ngopi di Manggar bersama Bu ermi :D

Lomba Kedai Kopi Teramai di Manggar


Saya dan tim makan malam di sebuah warung kopi “Bandoeng River” kali ini dengan menu seafood dan secangkir kopi Manggar yang terkenal eunakkknya (heheheh). Sebenarnya sembari menikmati kopi dan makan malam saya ingin sekali menikmatinya sambil duduk di bawah saung yang disediakan oleh warung kopi. Namun sedikit terhambat karena nyamuknya luar biasa banyak (hehehe).

            Keesokan harinya perjalanan ini menjadi perjalanan yang tidak bisa saya lupakan. Jalan-jalan ke Hopping Islands.

            Sebenarnya Hopping Islands merupakan gugusan dari beberapa pulau di dalamnya, yang paling terkenal adalah Pulau Langkuas, Pulau Pasir, Pulau Batu Berlayar, Pulau Burung. Kita bisa berangkat dari Tanjung Kelayang, pantai yang terletak di bagian Utara Belitong ini menyediakan fasilitas boat untuk sampai ke pulau-pulau tersebut. Biaya per-boat biasanya 300 ribu rupiah bisa juga lebih tergantung hasil nego dengan pemilik boat. Bagi yang pertama kali naik boat tak perlu khawatir, penyeberangan ini hanya sekitar 30 menit dan awak boat juga menyediakan life jacket  dan plastic terpal agar barang bawaan kita tidak basah.

Di antara semuanya memang Pulau Langkuas yang paling indah dan terkenal, di sini terdapat sebuah mercusuar yang sudah dibangun sejak jaman Belanda, untuk sampai ke puncak menara kita harus menaiki puluhan anak tangga yang memiliki posisi memutar, ada 17 lantai untuk mencapai puncak mercusuar, lumayan untuk olah raga (heheh). Beberapa anak tangga mulai terlihat berkarat dan diganti topangannya dengan kayu, mungkin karena sifat air laut yang korosif. Makanya oleh petugas mercusuar sebelum masuk kita harus mencuci kaki terlebih dahulu dengan air bersih, agar besi-besi mercusuar tidak cepat berkarat.

On the way Pulau pasir

Tanjung Kelayang, dari sini berangkat ke pulau
Dari Menara Mercusuar Pulau Langkuas


Pulau Langkuas dari Mercusuar



Selain Pulau Langkuas, Pulau Pasir yang paling banyak dikunjungi. Pulau pasir ini memang hanya terdiri dari gundukan pasir saja, persis seperti namanya. Diameternya juga tak lebih dari 100 meter. Pasirnya yang berwarna putih dan giant bintang laut yang tak pernah ditemukan di pulau lainnya menjadi ciri khas dari pulau pasir. Jika ingin berenang dan snorkeling pulau pasir bisa menjadi tempat yang asik. Letakkan saja barang bawaan kita di bagian tengah pulau, dijamin aman!

Pulau Pasir dikerumuni Boat turis lokal


Bintang Laut, khas Pulau Pasir

Dari Pulau Pasir kita jalan ke Pulau Batu Berlayar. Jika diperhatikan dari kejauhan batu-batu dari pulau batu berlayar ini mirip seperti sirip ikan hiu. Batu-batu yang ada di pulau batu berlayar dan di beberapa tempat di belitong ini kebanyakan jenis batu granit yang super besar. Tingginya bisa mencapai tinggi rumah yang memiliki  dua lantai, untuk diameternya pun juga sangat lebar-lebar. Bisa dikatakan batu-batu granit di sini super raksasa.

Pulau Batu Berlayar 


Pulau Burung menjadi singgahan selanjutnya, mungkin karena ada sepasang batu yang saling mengapit di sini, bagi masyarakat Belitong sendiri menyebutnya “Batu Becinte” atau Batu bercinta.  Namun karena ukuran pulau Burung juga agak besar, kita harus memutarinya untuk menemukan batu becinte ini.
Pulau Burung


Perjalanan pulang dari Hopping Islands biasanya agak sedikit berbasah-basahan “Shower air asin”  karena ombak yang lumayan tinggi. Tapi menurut saya di situ letak kenikmatan berkendaraan dengan boat, belum sah rasanya jika tidak keciprat ombak (heheheh).

Perjalanan ke Hopping Islands ini bisa memakan waktu seharian, jika tidak terlalu lelah bisa langsung menuju ke Tanjung Tinggi, salah satu lokasi pembuatan film Laskar Pelangi, karena posisi Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi kedua-duanya di Utara, jadi bisa ditempuh dengan sekali jalan saja.

Tanjung Tinggi terkenal dengan batuan granit raksasanya dan laut yang super kalem. Pertama kali saya menginjakkan kaki di Tanjung Tinggi, saya hampir tak percaya bahwa di depan saya yang terbentang luas ini adalah laut, sangat sangat sangat tenang (sengaja diulang 3x karena saking tenangnya hehehe), tidak ada gelombang, ombak, bahkan lebih mirip danau.

Tanjung Tinggi Beach, Lokasi Syuting Laskar Pelangi

Tanjung Tinggi, No Wave, benar2 tenant banget




Batuan granit di sini memiliki bermacam bentuk, kita bisa bermain petak umpet di antara tumpukan-tumpukan batu tersebut. Di bagian depan pantai ini terdapat sebuah plang permanen yang bertuliskan bahwa Tanjung Tinggi Beach merupakan lokasi film Laskar Pelangi. Selain itu, jika ingin makan siang atau menikmati kelapa muda juga banyak tersedia di warung-warung sederhana di sepanjang pantai ini. Hanya satu kekurangan dari Tanjung Tinggi, banyak sekali sampah yang dibuang sembarangan membuat pantai ini agak kotor.

Tujuan wisata untuk keesokan harinya yaitu Danau Kaolin. Danau Kaolin ini terletak di jalan Murai sekitar 15 menit dari pusat kota Tanjung Pandan, banyak yang menyarankan untuk mengunjungi danau Kaolin di pagi hari, jika beruntung akan melihat sebuah fenomena sunrise di danau Kaolin yang tidak bisa ditemukan di tempat yang lain.

Melihat danau Kaolin yang semuanya memutih mengingatkan saya pada kawah putih Ciwidey. Sebenarnya danau Kaolin ini terbentuk dari penggalian tambang mineral Kaolin yang tak beroperasi lagi. Setelah dibiarkan begitu saja, galian-galian itu akhirnya menampung air hujan dan air dari sumber mata air di tempat galian, uniknya air yang menggenang dalam bekas galian itu menjadi sangat indah, berwarna biru yang bening dan berkilauan, kondisi ini mungkin disebabkan oleh komposisi Hidrous Aluminium silikat yang dikandung Kaolin. Ini biasa kita lihat pada kilauan keramik atau lampu yang menggunakan lapisan Kaolin.  

Danau Kaolin terbentuk dari bekas galian tambang Kaolin

Berpose di depan Danau Kaolin (Airnya Biru)


Dari danau kaolin, mari kita melihat rumah adat Belitung, yang terletak di samping rumah Bupati Belitung. Warga setempat menyebutnya “Rumah Panggong”, mungkin karena bentuknya seperti rumah panggung, bagian bawahnya terbuka, biasanya orang-orang dulu menggunakan bagian bawah rumah sebagai tempat untuk berternak hewan ternak mereka.

Rumah Panggong, rumah adat Belitong

Rumah Panggong ini terdiri dari dua bagian, bagian depan (ruang utama) dan bagian dapur bersih. Hasil googling yang saya lakukan, seperti rumah adat lainnya, di dalamnya juga terdapat diorama perlengkapan pengantin masyarakat Belitong, perlengkapan rumah, bertukang dan lain-lainnya. Saat mengunjungi rumah panggong kami kurang beruntung karena petugas sedang istirahat. Jadi, yang berniat berkunjung di rumah panggong ada baiknya sebelum pukul 12 atau sesudah pukul 14, setelah petugas istirahat.

Selain rumah panggong ada satu lagi tempat yang cukup menarik untuk dikunjungi yaitu Museum Timah.

Replika Kapal Keruk Timah, Museum Timah
Jenis Mineral Batuan di Museum Timah

Untuk dapat masuk ke museum Timah kita cukup membayar 2500/perorang termasuk mengunjungi kebun binatang mini di bagian belakang museum. Banyak sekali istilah-istilah batuan mineral dalam museum ini berikut jenis batuan yang sengaja dipamer di sini. Beberapa replika kapal keruk Timah, piring-piring peninggalan etnis Tionghoa, mumi buaya turut mewarnai isi museum. Namun sayangnya tidak ada guide yang menerangkan kepada pengunjung tentang semua item yang dipamerkan di sini, untuk mengetahui semua item tersebut, pengunjung hanya cukup membaca keterangan yang ada di setiap item.

Akhir dari perjalanan ini kita bisa memanjakan diri sejenak dengan menikmati makanan khas Belitong yang bernama “Gangan”, gulai ikan yang berwarna kuning ditambah potongan nanas yang membuat gulai itu agak berasa manis. Selain Gangan, ada juga lontong sayur khas Belitung dan mie rebus belitong yang diberi kuah kaldu udang. Dan yang pasti semuanya yummy (hehehe).

Gangan (kanan) gulai Khas Belitong

Karena perjalanan ke Belitong ini adalah jalan-jalan gratis, jadi saya tidak mencantumkan total biaya perjalanan di akhir tulisan ini. Namun tak perlu khawatir teman-teman bisa langsung menghubungi tour agent seperti @belitungpojok, @Liburanbelitung di twitter atau tour agent belitong lainnya untuk mendapatkan perkiraan total biaya selama di sana. Selamat berlibur J.


*****

Jakarta, 12 August 2012

Pukul 7.27 WIB

Aida MA




           

Komentar

Postingan Populer