Oleh2 Dari Jogja


Yogyakarta, ini bukan kali pertama saya menginjakkan kaki di sini. Pada saat Merapi bergejolak pun saya masih sempat mengunjunginya. Tapi menghampiri Jogja kembali lebaran tahun ini menjadi sebuah perjalanan mudik yang penuh makna buat saya.

            Saat masih di bangku sekolah, salah satu pelajaran yang menyebalkan buat saya adalah pelajaran sejarah. Mungkin karena pengajar menyampaikannya seperti text book yang membosankan dengan system hafalan yang membingungkan. Entahlah, atau memang saya yang mencari-cari alasan untuk tak menyukai pelajaran satu ini (nyengir).

            Bagi yang senang wisata budaya saya fikir akan setuju dengan pendapat saya, bahwa mengunjungi kraton Ngayogyakarta dan mengunjungi museum-museum sejarah seperti Ullen Sentalu adalah cara asik belajar sejarah.

            Saya hanya akan berbagi info bagi teman-teman yang belum pernah mengunjungi Kraton Ngayogyakarta dan Museum  Ullen Sentalu,  bagi yang sudah mengunjunginya silahkan koreksi jika ada kalimat yang salah saya ketik, atau bisa ditambahkan infonya.

             Menuliskan kembali perjalanan mengunjungi sebagian kecil sejarah Kerajaan Mataram ini sempat membuat saya bingung, lalu saya membayang-bayangkan atau mengingat-ingat nama-nama raja yang sempat nyantel  di kepala saya hasil dari menghafal text book sejarah.

           
Kraton Ngayogyakarta. Sebelum masuk ke kraton ini setiap wisatawan harus mengambil tiket masuk dan membayar permit kamera atau video dari petugas. Bagi wisatawan domestic seperti saya dikenakan biaya Rp. 5000/tiket dan untuk masing-masing kamera dikenakan biaya Rp.1000/kamera.  Untuk wisatawan asing biayanya berbeda lagi, mereka dikenakan biaya Rp. 12.500/tiket.
          
  Jika ingin dipandu oleh seorang guide, kita harus menyampaikannya pada petugas tiket sebelum perjalanan mengenal isi kraton ini dimulai. Tidak perlu khawatir dengan biaya tambahan untuk seorang guide, cukup memberikan tips seikhlasnya saja di akhir sesi.

            Awalnya buat saya mengunjungi museum itu adalah hal yang membosankan. Mengamati barang-barang kuno dan penuh sejarah itu terasa kurang menarik. Namun  peran seorang guide itu sangat penting sehingga kunjungan kali ini terasa lebih berbeda.
          
  Buat saya yang asli Sumatra dan tak terlalu suka sejarah, banyak pertanyaan-pertanyaan konyol di kepala saya yang muncul dan jujur saja saya agak meraba jika ditanya sejarah kerajaan Mataram. Dengan bantuan seorang guide akhirnya kepala saya sedikit terbuka dan mengerti tentang Kerajaan Islam Mataram.
          
  Menurut bu Susi, guide Kraton. Bagian dari Kraton Ngayogyakarta yang boleh dikunjungi umum hanya pada halaman tiga dan empat. Saat memasuki gerbang tiga pada sebuah dinding tersemat sebuah karakter tolak bala yang lidahnya menjulur keluar, nama karakter ini sedikit asing di telinga saya sehingga sulit sekali buat saya untuk melafalkannya.


             Beberapa langkah ke depan saya disuguhi pemandangan alat-alat music gamelan yang terdiri dari kenong, kempul, kendang, genjur, bonang, gambang,.... tanpa Nayaga (orang-orang penabuh gamelan) karena sedang mudik lebaran, maka saya tidak beruntung bisa melihat pentas musik gamelan ini. 
     pagelaran musik gamelan tanpa nayaga

            Pada halaman empat, di depan gerbang menuju halaman empat, ada dua patung yang berukuran besar  dengan perut yang gendut memegang senjata di tangannya. Dua patung ini mewakili karakter baik dan buruk. Yang baik posisinya di sebelah kanan dan yang buruk posisinya di sebelah kiri.
            
Di depan gerbang menuju halaman empat, ada sebuah symbol yang ditulis dengan huruf jawa kuno “HB” yang berarti Hamengkubowono,  masih di halaman empat ini juga saya temui banyak bangunan bergaya arsitektur  joglo (rumah adat jawa). Di sini juga bisa dilihat rumah kediaman Raja, bangsal tempat menerima tamu dan museum batik keluarga kraton.
          
  Jika masuk Museum Batik keluarga Kraton, para pengunjung dilarang untuk mengabadikan gambar motif batik keluarga kraton, karena motif tersebut hanya dipakai oleh keluarga kraton saja, khalayak umum dilarang menggunakan motif batik yang digunakan oleh keluarga kraton. Nah, museum batik kraton ini salah satu tempat yang saya sukai karena motif batiknya benar-benar luar biasa dan sebagian besar didesign langsung oleh para putri dan kanjeng permaisuri.


            Di halaman empat ini, juga bisa dijumpai meriam kuno, patung-patung peninggalan Hindu, patung – patung hadiah dari Belanda yang terlihat dari bentuk patungnya yang menurut saya “bule banget” selain itu juga ada museum batik yang motif-motif batiknya kebanyakan dipakai oleh abdi ndalem, para penari kraton. Nah, di sini silahkan bernarsis ria, karena tidak ada larangan mengambil foto.
           
 Kurang dari dua jam saya menghabiskan waktu di Kraton Ngayogyakarta, sekarang waktunya belajar sejarah dengan cara yang seru di museum Ullen Sentalu.
          
  Museum Ullen Sentalu ini berada 6 km dari gunung Meurapi di kawasan wisata Kaliurang tepatnya di Taman Kaswargan. Perjalanan dari kota Jogja ke museum ini ditempuh kurang lebih 19 km. Saya menyukai perjalanan ini karena hawa iklim yang sejuk menuju Meurapi membuat pikiran terasa segar, walaupun kiri kanan masih terlihat sisa abu Merapi pasca Erupsi akhir tahun lalu.


Museum Ullen Sentalu

            Saya termasuk pencinta alam terbuka, jadi saat menjejakkan kaki pertama kali di depan Museum Ullen Sentalu ini, saya benar-benar dibuatnya jatuh cinta. hawa dingin yang dipadu dengan pepohonon yang masih rimbun, ditambah arsitektur batuan yang menjadi khas museum ini semakin memberi kesan nyaman di mata saya.
          
  Cukup membayar Rp.25 ribu/ orang untuk dapat masuk ke museum ini. Namun memang sayang sekali selama berada dalam museum ini tidak diperkenankan untuk mengambil foto dan sejenisnya. Museum ini baru berdiri pada tahun 1 maret 1997 yang lalu dibangun di atas tanah seluas kurang lebih 1,2 hektar, milik keluarga Haryono yang sangat mencintai dan melestarikan budaya dan sejarah kerajaan Islam Mataram.
          
  Buat saya ada beberapa hal yang menjadi daya tarik tersendiri di Museum ini, selain arsitektur batuannya yang sebagian dibangun dari batuan gunung merapi, guide  yang sangat friendly dan sabar menjawab semua pertanyaan konyol saya, lalu daya tarik lainnya museum  ini juga mengupas tentang sisi para “Queen” dan putri dari kraton Yogyakarta dan Surakarta.
          
  Menurut saya ini sedikit unik, karena selama ini sejarah banyak mempublikasikan hanya seputar Raja saja, namun museum ini justru melihat wanita-wanita perkasa yang berada di belakang kesuksesan seorang raja dalam kerajaan Islam Mataram, yang kemudian meninggalkan decak kagum di bibir saya saat mendengar kisah-kisah para wanita hebat ini.
          
  Tiba di ruang selamat datang, saya disuguhi dengan sebuah arca Dewi Sri yang memegang butir padi, sebagai tanda kesuburan. Jika di India arca Dewi Sri bukan menggenggam padi namun melainkan menggenggam apel atau disesuaikan dengan daerah setempat.
            Di sebelah kanan ruang selamat datang ini saya terkagum-kagum dengan ruangan music pagelaran seni tari dan gamelan dengan skala pentatonik slendro dan pelog . Peralatan gamelan tertata rapi di ruangan ini, dipadu dengan lukisan-lukisan penari yang sedang memerankan karakter tokoh dari tariannya.  Bahkan di sini ada sebuah lukisan yang menggambarkan sebuah tarian yang diciptakan HB XI yang berkisahkan tentang cinta segitiga. Jujur saja, saya agak penasaran dengan kisah cinta segitiga dalam lingkungan kraton ini.
          
  Ada beberapa ruangan pamer di museum ini seperti Room Royal Ratoe mas, Ruang Syair untuk Tineke, Ruang batik Vorstanladen, Ruang batik pesisiran, Ruang Putri dambaan.

            Salah satu ruangan yang paling saya sukai adalah ruang syair untuk Tineke. Di ruang ini dipenuhi surat-surat dari sepupu GRAj Koes Sapariyam atau biasa dipanggil Tineke, putri dari Paku Buwono XI (Surakarta). Surat-surat itu berisi hiburan dan motivasi yang diperuntukkan untuk putri Tineke yang sedang patah hati karena ditentang oleh ibunya karena memiliki hubungan cinta dengan kekasihnya.
          
  Intelektual sastra yang tinggi di lingkungan putri kraton Surakarta terbuka di sini.  Saya menyukai nilai-nilai filosofis dalam tiap rangkaian kata-kata yang ditulis sepupu putri Tineke untuk putri Tineke yang menggambarkan hidup itu memiliki lonceng, bahagia itu ibarat bunga mekar. Surat-surat itu sebagian ditulis dalam bahasa belanda lalu diterjemahkan dalam empat bahasa.
          
  Satu ruangan lagi yang saya sukai adalah ruang putri dambaan. Ruangan ini berisi sisi kehidupan putri GRAy Siti Nurul Kusumawardhani putri tunggal dari  Mangkunegara VII dengan permaisurinya GKR Timur.
          
  Putri Nurul dikenal sangat cantik rupawan, pernah dilamar oleh tokoh-tokoh besar seperti HB XI dan Bung Karno, namun semua lamaran itu ditolaknya, karena beliau menolak dipoligami. Sikap Putri Nurul ini pula yang menjadi inspirasi pangeran-pangeran Mataram untuk tidak berpoligami. Putri Nurul juga pintar berkuda, yang pada jaman itu masih janggal di lingkungan kraton.
          
  Selain lima ruang pamer tadi, ada juga museum outdoor yang berisi arca-arca peninggalan jaman Hindu Budha, sehingga saya menjadi tahu mengapa ganesha digambarkan dengan perut buncit, ternyata menurut kepercayaan hindu itu sebagai pertanda ilmu pengetahuan.
          
  Di dekat museum outdoor ini terdapat sasana Sekar Bawana yang berisi lukisan raja Mataram, patung dan riasan pengantin Surakarta dan Yogyakarta.
          
  Banyak sekali nilai-nilai filosofis yang saya temukan di sini. Dari jumlah kembang goyang yang berjumlah lima bermakna rukun islam, alis mata pengantin wanita yang diukir seperti tanduk rusa, bermakna bahwa wanita harus gesit dan lincah seperti rusa. Kalung penganten susun tiga bermakna kelahiran, pernikahan dan kematian. Masih banyak  makna-makna filosofis Jawa lainnya yang saya temukan di sini.
          
  Akhir dari kunjungan museum ini, saya disuguhi minuman yang resepnya dibuat oleh gusti Nurul sendiri, yang konon katanya membuat awet muda. Untuk hal satu ini saya tak akan saya melewatkannya.
          
  Sembari berjalan ke pintu keluar saya sempat melihat-melihat “Muse” tempat membeli souvenir-souvenir khas Ullen Sentalu yang unik-unik dengan harga yang “ono rego ono rupo”. Lalu terakhir di pintu keluar saya berpose sesaat dengan dewa ilmu pengetahuan Ganesha sebelum meninggalkan museum yang menarik ini.
    


       

Jakarta, 6 september 2011
pukul 15.30 wib
aida MA




Comments

Popular Posts