Ping Bukan PING




Judul Buku                : Ping, A Message From Borneo
Penulis                        : Riawani Elyta dan Shabrina WS
Genre                         : Novel Fiksi Remaja
Tebal Halaman          : 139 halaman
Penerbit                      : Bentang Belia (PT. Bentang Pustaka)
ISBN                           : 978-602-9397-17-8

            
Pernah dengar istilah PING lalu disertai dengan getaran di ujungnya pada program panggilan di sebuah merk SmartPhone terkenal?. Rasanya semua orang mengenali istilah PING ini, namun istilah PING dalam Novel “Ping, a message From Borneo” ini bukan sama sekali membicarakan tentang smartphone, walaupun setelah kata PING dilanjutkan dengan kalimat a message (sebuah pesan).  Istilah Ping yang dimaksudkan di sini adalah nama anak orangutan yang menjadi salah satu tokoh fabel dalam Novel remaja hasil kolaborasi unik Riawani Elyta dan Shabrina WS yang dinobatkan sebagai juara pertama event Novel Bentang Belia awal tahun ini.

            Unik, mungkin itu kesan pertama kali yang akan kita temukan ketika memegang Novel ini. Unik karena ditulis oleh dua orang dengan porsi mereka masing-masing, apalagi Bentang menuliskan di bagian belakang cover bahwa kedua penulis ini tidak pernah bertatap muka sama sekali bahkan ketika novel ini sudah diterbitkan. Unik yang kedua, yaitu dari sisi tema, rasanya sangat jarang ditemukan Novel remaja fiksi yang bertemakan tentang pelestarian satwa langka, namun dua keunikan inilah yang bisa kita temukan pertama kali begitu membaca novel ini.

Molly, remaja penggila konservasi alam dan penyelamatan satwa langka berangkat bersama dua teman bulenya Nick dan Andy ke Kalimantan, Samboja untuk penelitian skripsi Nick tentang kehidupan orangutan. Sementara Ping, seekor anak orangutan yang kehilangan ibunya akibat pemburu dan pembakaran hutan untuk pembukaan lahan sawit baru.

Prolog yang sangat menggugah, ketika Ping berbicara tentang perasaannya, rasa takutnya ketika hidupnya terusik oleh pembakaran hutan dan pemburu liar. Sebuah luka yang sangat dalam dirasakan oleh anak orang utan ditulis dengan “penuh rasa” oleh Shabrina WS, sebuah fabel yang butuh banyak observasi terlihat nyata di sini, sehingga pembaca seolah dibawa ke dunia orang utan dan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh Ping dan ibunya. Bukan hanya itu saja, novel ini juga memberikan pengetahuan baru kepada orang awam tentang kehidupan orang utan, apa saja makanan yang mereka makan, bagaimana membuat sarang, mencari makan dan termasuk bagaimana ibu orang utan mendidik anaknya.

Membaca novel ini sebenarnya mendapati dua dunia yang saling berhubungan. Dunia Molly, gadis yang sangat idealis digambarkan oleh Riawani Elyta dengan sangat manis, meski dunia Molly bisa dikatakan minim konflik, konflik satu-satunya yang terjadi hanya saat Archie, sahabat SMA Molly yang bertemu kembali di Kalimantan dan ternyata kurang mendukung kegiatan konservasi alam dan perlindungan orang utan yang Molly lakukan, namun kisah Molly, Nick, Andy dan Archie tetap menghubungkan pembaca dengan Konflik bathin yang di alami Ping. Konflik justru banyak terbangun dalam kehidupan Ping sebagai anak orang utan yang dua kali kehilangan ibunya, ibu kandung dan ibu susuannya, lalu Jong saudara sesusuannya yang juga ikut menghilang pasca kematian Ibu mereka.

Bagi pembaca remaja tak perlu khawatir, karena novel ini tak akan memberi kesan membosankan, meski tak ditemukan petualangan ekstrim di tengah hutan atau adegan cinta-cintaan ala remaja yang banyak disuguhkan dalam novel remaja lainnya, namun novel ini sangat menghibur dengan dunia fabel dan semangat serta kepedulian Molly yang patut ditiru oleh para remaja yang kerap dikonotasikan dengan hura-hura dan akhir-akhir ini terjangkit demam boyband.

Sampai dengan halaman terakhir secara tidak langsung Novel ini berhasil menitipkan sebuah pesan di hati pembacanya, bahwa alam harus dilestarikan,  satwa langka harus diselamatkan agar keseimbangan ekosistem hutan tetap terjaga. Setidaknya sempat terbersit di hati saya untuk menjadi bagian dari volunteer perlindungan orang utan setelah membaca novel ini. Maka tak ada kata lain yang bisa saya ucapkan selain novel ini sangat pantas menjadi pemenang pertama Lomba Novel Bentang Belia.

Jakarta, 09 Mei 2012
Pukul. 07.38 wib
Aida MA

Comments

Popular Posts