26 Desember, Aku Tiada


Aku berlari sekuat tenaga menghalau resahku, berpacu waktu dengan ratusan hati yang menyimpan galau di dada mereka. Sesekali ku terjatuh terinjak dan terluka, namun secepat itu pula aku bangkit berlari lagi menuju satu titik menuju satu tempat dimana semua galau bertumpu di situ.
Aku hanya punya tekad namun tenagaku tak seberapa, guncangan bumi rencong di tanggal 26 desember kali ini membuatku terhuyung-huyung jatuh. Suara gemuruh air menyadarkanku diantara ratusan orang yang kurasakan hanya seumpama semut yang kucar kacir di dinding rumahku saat disiram seember air.
Hati manusiaku meringis, mengingat koleksi dosa yang telah kukumpulkan bertahun-tahun tanpa sempat benar-benar kubenahi. Bagaimana jika hari ini janjiku dengan Nya benar-benar akan berakhir di pagi minggu, 26 desember 2004.
Lamunan penyesalanku buyar dengan hempasan gulungan ombak yang samasekali tak kurasa indah kali ini. Semua begitu mengerikan, semua begitu hitam, semua begitu bau. Entah pada apa aku berpegang saat ini, hanya lidah dan hatiku yang tak henti menguatkan sesal.
Aku hampir mati, benar-benar hampir mati. Kerongkonganku tersedak berkali-kali meminum cairan asin yang bercampur tanah. Aku hampir mati, benar-benar hampir mati. Kurasakan telingaku disinggahi paku dinding yang harusnya menancap di dinding rumahku. Aku hampir mati, benar-benar hampir mati. Ketika darah segar kurasakan bercucuran di seluruh tubuhku.
Bumi masih berguncang, sekuat tenaga mataku mencari cahaya. Sayup-sayup kudengar isakan di sekitarku. Langit kutatap begitu cerah, kurasakan tak ada batas antara aku dan hamparan permadani biru yang indah di depanku saat ini.
Baru kali ini tanah kurasakan begitu dingin, wajah panik yang mondar mandir di depanku, isakan tangis yang tak kenal henti menjadi pemandangan di sekitarku. Hey, bisakah kalian membantu untuk duduk???teriakku.
Aku berhenti berteriak mataku diam, menatap kanan dan kiriku. Puluhan tubuh kaku, pucat dan berbau anyir menemaniku merasakan dinginnya tanah di pagi minggu ini. Kurasakan ujung kakiku semakin dingin perlahan menjalar ke lutut, paha, perut hingga kerongkonganku. Kaku aku semakin kaku, tiba-tiba kurasakan mataku begitu berat, sesaat sebelum terpejam sayup-sayup kudengar lafadz innalillahi wa inna ilaihiraaajiiuunnn,…

Mengenang 6 tahun tsunami aceh
Minggu, 26 desember 2004
Aku benar-benar kehilangan….

Komentar

Postingan Populer