LosT
Suara Sarah Mclachlan “angel” mengalir mengalun lembut memusat pada saraf hampaku. Titik hujan menguap di kaca arrival room, Iskandar Muda airport. Ku tatap langit, beberapa ekor burung terbang terburu-buru terjebak hujan. Sama denganku yang terjebak di sini, di kotamu kota Nanggroe.
“peu haba, hatee??” (apa kabar, hati??) kurasakan aromamu memenuhi kepalaku saat lamban-lamban kendaraan roda empat ini membawaku perlahan, mencoba mengulang tiap jalan yang kulalui seolah tak pernah lekang sebuah kesatuan kenangan.
Kampus Syiah Kuala university di sisi kiriku dan Ar-raniry Institute di sisi kananku, beberapa orang mahasiswa yang hilir mudik dengan payung di tangan, tergopoh-gopoh menghindari titik hujan yang terus mengguyur bumi. Kurasakan kau bercerita di sisiku tentang dua kampus ternama di kotamu ini.
Di depan ku lihat tanjakan jembatan lamnyong menyapaku dengan keruhnya air krueng aceh yang sedang mengalir memuara ke laut lepas. Bantaran sungai yang menghijau ditanami sayur para petani musiman. Rinduku kian memekat di jembatan ini.
Aku hanya ingin ke pantai ujong batee sesaat, merasakan dinginnya buih ombak yang menepi, menyentuh pasir hitam yang lembut di kakiku. Hanya ingin menyapa cemara yang berdiri anggun menghadap ke bentangan air laut di hadapannya.
“peu haba, hatee???,..lon leupah that meusyen” (apa kabar, hati??,..aku terlalu rindu)
Sanger dingin berukuran gelas besar di depanku. Kopi aceh yang dibubuhi krimer melegakan kerongkonganku. Kemacetan di depanku, tujuh simpangan menyatu di sudut ulhee kareng ini. Hanya aku yang merasa sepi tanpa di temani secangkir pemilik kopi pekat yang selalu setia di sampingku.
Hatiku masih betah bercumbu dengan memory indah itu. Beberapa kapal yang menanti penumpangnya untuk berlayar ke pulau weh, sabang terlihat mengapung-apung di sana. Kapal yang lain menuju pulau aceh telah berlalu lebih dulu. Aku berdiri di depan menara mercusuar, ulhelee. Menatap buih-buih ombak yang ditinggalkan kapal ketika meninggalkan pelabuhan, lalu melepaskan umpan menggoda ikan karang agar mendekat.
Tuhan dengarkan doaku,…doa hati yang sunyi, doa hati yang dipandu gelisah. Hiruk pikuk pasar aceh yang berada di sisi utara pintu gerbang masjid raya Baiturrahman tak menyurutkan kesyahduanku dalam doa. Selangkah semakin berat rinduku menggantung di dada. Ingin sekali kulepaskan rindu ini biar bebas sebebas burung-burung gereja yang terbang bertengger lagi di menara depan masjid baiturrahman.
Langkahku gontai di sini, kakiku lemah hingga ku tersungkur pada bentangan rumput manila hijau yang basah berbau tanah dan bercampur aroma bunga mawar dan melati yang bertebaran di atasnya.
“peu haba, hate??? Lon katroh lom di sino” (apa kabar, hati?? Aku telah sampai di sini lagi)
Hujan kian deras, sederas titik-titik genangan air di mataku yang terus mengalir. Betapa kuat rindu menyesakiku, betapa pekat cinta ini mewarnai hatiku. Hingga ku lupa bagaimana warna yang lain mewarnaiku. Betapa oh betapa,…hanya aku, hujan dan gundukan bentangan tanah menjadi satu kesatuan ujung dari perjalanan rindu ini.
Di depan sana, masih tertulis jelas “Pemakaman Massal Para Syuhada Tsunami Aceh, Lambaro”.
********
Jakarta, 25 January 2011
Aida M Affandi
Comments
Post a Comment